Membaca Tari Kontemporer
Ini merupakan pengalaman pribadi saya yang bukan penari dalam mencoba menikmati pertunjukkan “Ekspresi Seni Tari Kontemporer Lintas Generasi” pada Kamis 3 Oktober 2025 di Gedung Societet Yogyakarta hasil karya dari 4 koreografer (penata tari) yang saya tidak kenal semua. Sebagai seniman senirupa saya sering mengamati berbagai hal, diantara hal keseharian yang ada di sekitar, kejadian sosial politik, situasi ekonomi yang pasang-surut, jalan-jalan menikmati alam dan budaya, kerajinan, nonton bioskop, pameran senirupa, pertunjukan musik dan saat ini seni tari. Dalam menikmati sebuah pertunjukan (tontonan) biasanya saya tidak berinterpretasi (asumsi) akan apa yang akan saya tonton, saya hanya berharap mendapat suatu rileksasi dari kejenuhan atau kepenatan aktivitas seharian kerja kantor dengan profesi saya sebagai dosen Desain Produk dan tidak menutup kemungkinan mendapat ide untuk dapat dieksplorasi dalam karya seni rupa saya sebagai seniman. Pertunjukkan tari diawali dengan tari sambutan acara berjudul “Pat-Kupati” dari Kalimantan Selatan yang berkonsep pada cerita lokal kesaktian ahli sihir Ni Pati. Tidak terlalu bertele-tele dalam menterjemahkan cerita pembalasan ilmu sihir dan beberapa elemen tari seperti tata cahaya, kostum dan gerak serta simbol-simbol melempar selendang putih untuk adegan menghidupkan tokoh yang mati cukup bagus dimainkan dan komunikatif. Durasi waktu tidak terlalu panjang atau boleh dibilang terlalu singkat sehingga visual gerakan penari yang menggambarkan simbol pembalasan Ni Pati kurang tertangkap di persepsi saya sebagai penonton.
Pertunjukkan inti acara di mulai dengan tari ciptaan Widi Purnomo yang berjudul “Menari Di ruang Antara” yang terinspirasi dari pengalamannya pada aroma dapur di rumahnya yang terjadi dari adanya kegiatan memasak setiap hari. Artistik panggung cukup menarik saat ada papan menggantung (melayang) di ruang panggung dengan seseorang duduk di atasnya serta tata cahaya kuning dan biru bergantian menambah dramatis suasana. Kemudian papan diturunkan menjadi meja makan dan mulai muncul para penari dengan Gerak lambat mengusung kursi-kursi makan dan Sebagian menata piring-piring di atas meja. Gerakan lambat disusul gerak cepat liuk tubuh penari diikuti penurunan perangkat bambu layaknya amben (tempat menaruh peralatan memasak seperti: kenceng, kukusan, periuk) cukup artistic, menarik secara visual. Disusul ada aroma masakan yang tercium oleh hidungku, seperti rebusan bumbu tempe bosok dan cabai. Permainan dengan menyebarkan aroma ini merupakan keunikan dan kebaruan Widi. Awalnya saya merasa aneh dan sedikit mencari dari mana asal aroma tersebut, tapi terjawab saat Widi diwawancara oleh MC selesai membawakan tariannya. Namun, secara keseluruhan pertunjukkan tari ciptaan Widi ini terasa melelahkan, terutama saat klimak tarian dimana penari membanting banyak piring, menyapu, merespon amben dapur dan Widi menutup kepalanya dengan kenceng dan meliuk-liuk di tengah…terkesan crowded, sehingga gerak tari yang estetis hilang bahkan tak tampak karena di kepalaku dan pengaruh ke perasaanku jadi ikut kacau, semrawut…membingungkan. Terkesan penata tari ingin memasukkan cerita pengalamannya ke sebuah ruang panggung yang jadi terlihat sempit karena jumlah penari yang banyak keluar semua dan bergerak dengan peran/tokoh masing-masing sesuai cerita, ada peran yang di meja makan, ada yang memasak di dapur serta saat Widi (penata tari sekaligus penari utama) merespon alat dapur (kenceng gosong).
Tarian kedua berjudul “Niskala” ciptaan Nunik Widiasih. Sepertinya menceritakan kegundahannya sebagai perempuan di mana posisi perempuan yang disimbolkan sebagai dewi kesuburan dengan hadirnya sosok “loro-blonyo” (sepasang pengantin Jawa). Sosok perempuan terlihat sangat berbeda saat prosesi pernikahan yang terlihat agung, lembut lemah gemulai, cantik berbusana indah dan bahagia di samping suami. Loro-blonyo simbol sepasang pengantin yang terkesan sakral. Dalam tarian Niskala banyak menggunakan narasi dan musik tradisi Jawa, tidak banyak gerak tubuh penari, tetapi justru hanya menunjukkan keagungan sepasang pengantin Jawa dengan pernak-pernik perlengkapannya. Kemudian mulai menunjukkan kekerasan perilaku laki-laki yang disimbolkan dengan lesung dan palunya serta kostum perempuan yang ada bercak darah pada bagian vitalnya di akhir pertunjukkan. Simbol-simbol ini terkesan vulgar (berlebihan), justru kurang estetik untuk pertunjukan seni tari, jadi lebih cocok sebagai pertunjukkan teatre atau ketoprak di mana dapat menunjukkan adegan sadisan dalam perselisihan atau perang. Gerak tari yang gemulai atau estetis tari tidak ditemui atau hanya sedikit sekali yang bisa dinikmati, tetapi penonton lebih banyak berpikir tentang jalan cerita.
Kedua pertunjukkan tari yang konseptual tersebut membuat durasi waktu terasa terlalu lama, membosankan dan sangat melelahkan, padahal harapan saya nonton untuk relaxing dari kepenatan kerja sehari. Ditambah AC (pendingin ruang) di dalam Gedung Societet lama kelamaan terasa sangat dingin walaupun penonton cukup penuh bahkan banyak yang duduk di bawah (lorong jalan) karena tidak kebagian tempat duduk. Karena bosan, capek dan kedinginan, maka saya keluar dan pulang sebelum seluruh pertunjukkan berakhir, masih ada tari ketiga “Jamas Wesi Geni” karya Sudiharto dan tari keempat karya Pulung Jati RM berjudul “Ruas Aur” yang saya selesaikan nonton melalui Youtube. Tari ketiga masih sama gerak seni tari hanya isen-isen (pengisi) drama (teater). Tari ketiga lebih bisa dinikmati sebagai seni tari dengan warna monokrom (putih kecoklatan) dan gerak sederhana sehingga kurang terasa kreatifitas kebaruannya, serta musik tradisional Jawa yang diimbuh sdikit musik modern menjadi aneh atau kurang pas saat ada gerak tari klasik oleh penari perempuan. Menjelang akhir justru ada gerak memusat (bergerombol) penari dengan menghentakkan bambu-bambu di lantai justru menarik dan artistik suara yang ditimbulkan, sederhana tetapi unity (kokoh kesatuan) seperti konsep yang diangkat Pulung yaitu “ngilmu pring” (belajar dari bambu).
Istilah “kontemporer” yang muncul akhir abad ke-20 hingga saat ini, dengan ciri utama seni eksperimen, inovasi teknik dan media, dengan mengangkat isu-isu sosial, politik, dan budaya. Kontemporer baik pada disiplin seni lukisan, patung, video, instalasi, dan seni digital merupakan inovasi baik dalam teknik, media yang tidak terikat pada gaya atau aturan konvensional, sehingga lebih beragam. Namun, apakah harus menjadi sebuah sajian pertunjukkaan yang membingungkan penonton, melelahkan bahkan menjadi membosankan penonton karena properties, kostum, genre musik yang beraneka ragam. Penonton seolah sedang menghadapi menu makanan “gado-gado”, sehingga tidak ada bedanya pertunjukkan teater, ketoprak dan seni tari itu sendiri. Ingatan saya kembali pada sebuah pertunjukan tari “Anak Bajang Merindukan Bulan” karya Bimo Wiwohatmo walaupun ide (konsep) cerita dari novel karangan Sindhunata, tetapi Bimo berhasil mewujudkan pertunjukkan seni tari kontemporer yang tidak bertele-tele cara menyampaikan cerita, serta properti yang digunakan lebih sederhana sehingga tidak merusak estetis seni tari. Kostum didesain sederhana agar tidak mengganggu bentuk gerak tubuh penari. Seni kontemporer sebaiknya jangan hanya dipahami sebagai seni gado-gado. Perlu kematangan dalam konsep perwujudan visualnya sepertinya, tapi bisa jadi karena alasan undangan yang mendadak sehingga waktu terlalu singkat untuk proses pematangan tersebut. Hal ini biasa disebabkan penyelenggara , di sini TBY (Taman Budaya Yogyakarta) yang sekedar membuat acara untuk menghabskan dana tahunan dari Dinas Kebudayaan (Seni dan Budaya), apalagi yang diundang koreografer yang sudah lama non-aktif (tidak berkarya) seperti yang diungkap oleh Nunik W. saat ditanya MC.*** (Koniherawati-seniman dan dosen Desain Produk Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta)

