Peringati Maulid Nabi Muhammad SAW, 5 September 2025, Keraton Yogyakarta Gelar Hajad Dalem Sekaten, Garebeg Mulud Tahun Dal 1959

Peringati Maulid Nabi Muhammad SAW, 5 September 2025, Keraton Yogyakarta Gelar Hajad Dalem Sekaten Garebeg Mulud Tahun Dal 1959
Impessa.id, Keraton Yogyakarta, Indonesia: Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat melaksanakan rangkaian peringatan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW, Jum’at, 5 September 2025, dengan menggelar Hajad Dalem Sekaten, Garebeg Mulud Tahun Dal 1959.
Perayaannya diawali sejak Jumat, 29 Agustus 2025, atau 5 Mulud Tahun Dal 1959 hingga Jumat, 5 September 2025, atau 12 Mulud Dal 1959 (12 Rabiulawal 1447 H). Keraton Yogyakarta mengeluarkan dua perangkat Gamelan Kanjeng Kiai SEKATI yakni Kanjeng Kiai (KK) GUNTURMADU dan KK NAGAWILAGA dari dalam keraton. Kedua perangkat gamelan itu diletakkan di Pagongan Masjid Gedhe dan ditabuh selama kurun waktu tersebut, prosesi inilah yang kemudian dinamakan dengan SEKATEN.
Bertepatan dengan Tahun Dal, terdapat beberapa perbedaan dengan prosesi Hajad Dalem Sekaten tahun-tahun sebelumnya, di antaranya ada Pareden Gunungan Brama yang secara khusus diperuntukkan untuk Sri Sultan, keluarga, dan Sentana Dalem. Selain itu, usai mendengarkan pembacaan Riwayat Nabi Muhammad SAW, Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 Jengkar (kembali ke Kedhaton) dengan prosesi Jejak Banon (menjejak tumpukan bata) melalui pintu butulan sisi selatan Kagungan Dalem Masjid Gedhe.
Berikut Jadwal Rangkaian Hajad Dalem Sekaten Dal 1959:
1. Jumat, 29 Agustus 2025, pukul 19.00 WIB-selesai (terbuka untuk umum). Miyos Gangsa (Diawali pembagian Udhik-udhik oleh Utusan Dalem yakni Putra Dalem Putri), berlangsung di Kagungan Dalem Bangsal Pancaniti (Plataran Kamandungan Lor/Keben).
2. Minggu, 31 Agustus 2025, pukul 06.00 WIB-selesai (terbuka untuk umum). Geladi Bersih Prajurit jelang Garebeg Mulud, berlangsung di Kagungan Dalem Pelataran Kamandungan Kidul-Bangsal Pagelaran-Alun-alun Utara.
3. Selasa, 2 September 2025, pukul 15.00-17.00 WIB (terbuka untuk umum). Hajad Dalem Numplak Wajik, berlangsung Panti Pareden, Kompleks Magangan 4. Kamis, 4 September 2025, pukul 08.00 WIB-selesai (tertutup untuk umum). Mbusanani Pusaka, berlangsung di kompleks Kedhaton.
5. Kamis, 4 September 2025, pukul 18.00 WIB-selesai (tertutup untuk umum). Upacara Bethak, berlangsung di kompleks Bangsal Sekar Kedhaton.
6. Kamis, 4 September 2025, pukul 19.00 WIB-selesai (terbuka untuk umum). Kondur Gangsa (Diawali Pembagian Udhik-udhik oleh Ngarsa Dalem dan GKR Mangkubumi serta Pembacaan Riwayat Nabi Muhammad SAW). Usai mendengarkan Pembacaan Riwayat Nabi, Ngarsa Dalem Jengkar dalam prosesi Jejak Banon, berlangsung di kompleks Masjid Gedhe Keraton Yogyakarta.
7. Jumat, 5 September 2025, pukul 05.00 WIB-selesai (tertutup untuk umum). Upacara Bethak, berlangsung di kompleks Bangsal Sekar Kedhaton.
8. Jumat, 5 September 2025, pukul 09.00-11.00 WIB (tertutup untuk umum). Pisowanan Ageng, berlangsung di Kagungan Dalem Bangsal Kencana.
9. Jumat, 5 September 2025, pukul 08.00-11.00 WIB (terbuka untuk umum). Hajad Dalem Garebeg Mulud, berlangsung di Kagungan Dalem Bangsal Pagelaran – Kagungan Dalem Masjid Gedhe.
10. Jumat, 5 September 2025, pukul 20.00 WIB-selesai (tertutup untuk umum). Bedhol Songsong Pementasan Wayang Kulit, berlangsung di Kagungan Dalem Tratag Gedhong Prabayeksa.
Rangkaian agenda di atas yang terbuka untuk umum dapat disaksikan langsung oleh masyarakat serta disiarkan melalui Instagram live @kratonjogja. Untuk agenda Bedhol Songsong disiarkan secara live streaming melalui YouTube Kraton Jogja.
Gunungan Brama dalam Garebeg Mulud Dal 1959
Dalam Garebeg Mulud Dal 1959, terdapat enam jenis gunungan yang dikeluarkan. Keenam jenisnya adalah Gunungan Kakung, Gunungan Estri/Wadon, Gunungan Gepak, Gunungan Dharat,
Gunungan Pawuhan, dan Gunungan Brama.
Gunungan Brama hanya sekali dikeluarkan bertepatan dengan Tahun Jawa Dal dan ini membedakan dengan prosesi Hajad Dalem Garebeg Mulud seperti tahun-tahun sebelumnya. Gunungan Brama tersebut secara khusus diperuntukan untuk Sri Sultan, keluarga, dan Sentana Dalem. “Khusus Garebeg Mulud Tahun Dal, dikeluarkan salah satu pareden, yakni Gunungan Brama, yang nantinya juga diarak dan diboyong dari keraton menuju Masjid Gedhe,” ungkap KRT Kusumonegoro, Koordinator Rangkaian Prosesi Garebeg Mulud Dal 1959.
Kanjeng Kusumo, sapaannya, menambahkan bahwa apabila tujuh buah gunungan lain itu dibagikan untuk masyarakat, namun khusus Gunungan Brama hanya didoakan (di Masjid Gedhe) dan kembali ke dalam kompleks Kedhaton untuk dihaturkan kepada Ngarsa Dalem, keluarga dan Abdi Dalem yang marak/sowan di dalam Cepuri Kedhaton.
Wujud Gunungan Brama mirip Gunungan Estri. Bentuknya seperti silinder tegak dengan bagian tengah sedikit mengecil. Rangkanya terbuat dari bambu dan badannya ditutup dengan pelepah pisang. Bagian puncak Gunungan Brama memiliki lubang untuk menempatkan anglo, tungku kecil dari tanah liat. Anglo yang diisi arang membara digunakan untuk membakar kemenyan, sehingga terus-menerus mengepulkan asap tebal.
“Gunungan ini wujudnya seperti Gunungan Estri, yang membedakan dengan gunungan yang lain, adalah karena di atas atau di tengah Gunungan Brama mengeluarkan asap sepanjang prosesi berlangsung. Ini namanya Gunungan Brama atau Gunungan Kutug, hanya dikeluarkan pada Garebeg Mulud Tahun Dal atau setiap delapan tahun sekali,” tambah KRT Kusumonegoro.
Selama pelaksanaan Hajad Dalem Sekaten, Keraton Yogyakarta turut mengimbau bagi masyarakat yang turut berpartisipasi mengikuti rangkaian agenda hingga Garebeg Mulud untuk tertib. Keraton Yogyakarta mengimbau agar masyarakat dapat mengambil gunungan setelah mendengar aba-aba serta seusai gunungan tersebut selesai didoakan. Adapun khusus Gunungan Brama tidak untuk dibagikan, namun kembali ke dalam kompleks Cepuri Kedhaton. Pada Garebeg Mulud Dal 1959, pembagian pareden di Ndalem Mangkubumen ditiadakan. Selain itu, dua buah Gunungan Kakung ada yang dibawa menuju Pura Pakualaman dan Kompleks Kepatihan.
Rekonstruksi Prajurit
Setiap penyelenggaraan Garebeg, 10 Bregada Prajurit Keraton senantiasa mengawal gunungan yakni Wirabraja, Dhaeng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Ketanggung, Mantrijero, Nyutra, Bugis, dan Surakarsa. Bregada Bugis mengawal gunungan hingga Kepatihan. Sementara gunungan untuk Pura Pakualaman dikawal oleh Prajurit Pura Pakualaman yakni Dragunder dan Plangkir.
Jika pada Garebeg Sawal 2025 lalu, Keraton Yogyakarta menghadirkan Abdi Dalem Palawija, dan pada Garebeg Mulud Dal 2025 Keraton menghadirkan eksistensi prajurit Bregada Langenkusuma, Sumoatmaja, Jager, dan Suranata.
Dalam sejarah, Keraton Yogyakarta pernah memiliki kesatuan perempuan (estri) perkasa, yakni korps Prajurit Langenkusuma. Prajurit tersebut hadir sejak awal pemerintahan Keraton Yogyakarta pada tahun 1767. Awalnya kesatuan tersebut berfungsi sebagai prajurit pengawal putra mahkota, namun setelah Sri Sultan Hamengku Buwono II naik takhta, fungsi dan tugas prajurit wanita pun bertambah.
Mereka adalah putri-putri yang tangkas dalam olah watang (sejenis tombak), keris, panahan, berkuda, dan sebagainya. Kemudian hadir Prajurit Sumoatmaja yang bertugas mengawal Miyos Dalem. Mereka berbaris di sisi kanan dan kiri singgasana Ngarsa Dalem yang dibawa oleh para Abdi Dalem Keparak menuju Sitihinggil untuk melakukan pisowanan. Salah satu ciri khas pasukan ini adalah tata cara penghormatan kepada Ngarsa Dalem, yang dilakukan dengan sikap jengkeng menghadap sang raja, gerakan tersebut menyerupai gerak tari dalam wayang orang.
Melangkah dengan tegap, kesatuan Prajurit Jager. Dahulu kesatuan ini memiliki tugas berjaga di keraton, terutama saat Abdi Dalem prajurit lainnya bertugas dalam barisan kirab. Sehingga, prajurit Jager juga dikenal sebagai prajurit Puraraksaka, yang berarti ‘penjaga istana’. Selain bertugas menggantikan berjaga di istana, satuan prajurit ini juga memiliki kewajiban caos (berjaga) di Kumendaman–tempat kediaman seorang komandan prajurit Keraton Yogyakarta yang juga disebut Wadana Hageng Prajurit atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan Manggalayuda atau Manggala.
Dahulu setiap perayaan Garebeg, terdapat prajurit Suranata yang berbaris saling berhadapan di depan Kagungan Dalem Tratag Bangsal Kencana untuk ngurung-urung margi atau menjadi pembuka jalan sekaligus pagar betis masuknya rombongan prajurit dari Magangan menuju Srimanganti.
Kesatuan-kesatuan tersebut, termasuk Abdi Dalem Palawija dan Langenastra yang sudah lebih dahulu direkonstruksi, bersama 10 kesatuan prajurit bersama-sama mengiringi arak-arakan Gunungan Garebeg Dal 1959.
Lebih lanjut, sejak dimulainya rangkaian peringatan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW, Keraton Yogyakarta memberlakukan no fly zone di Kawasan Keraton Yogyakarta. Artinya, masyarakat dilarang untuk menerbangkan drone atau pesawat nirawak dan sejenisnya 0-150 meter dari permukaan tanah (0-492 feet AGL). Hal ini dilakukan guna mendukung kelancaran seluruh prosesi, sekaligus memberikan penghormatan terhadap jalannya Hajad Dalem dan pareden gunungan yang dibagikan sebagai perlambang sedekah raja.
Sekilas Tentang Sekaten dan Gamelan Sekati
Sekaten merupakan Hajad Dalem yang hingga saat ini rutin dilaksanakan Keraton Yogyakarta dari tanggal 5 sampai dengan tanggal 12 Mulud (Rabi’ul Awal). Sekaten diselenggarakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Sekaten berasal dari kata “syahadatain” yang merupakan kalimat dua kalimat syahadat, pengakuan memeluk agama Islam. Pendapat lain menyatakan bahwa Sekaten berasal dari kata “sekati”, seperangkat gangsa (gamelan) yang berasal dari Majapahit yang kemudian dimiliki oleh Kerajaan Demak dan dibunyikan selama pelaksanaan Sekaten.
Upacara Sekaten telah dilaksanakan sejak zaman Demak, kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa, sebagai salah satu sarana dakwah untuk menyebarkan agama Islam. Proses Islamisasi tak bisa dilepaskan dari usaha Wali Sanga dengan menggunakan sarana budaya dalam menjalankan dakwahnya. Wali Sanga menyadari penyebaran agama Islam tidak dapat dilakukan dengan paksaan. Karena itu dibunyikanlah seperangkat Gamelan Sekati agar masyarakat tertarik mendekat ke masjid dan mendengarkan dakwah dari para wali.
Seperangkat Gamelan Sekati yang kini dimiliki oleh Kasultanan Yogyakarta merupakan warisan dari Kerajaan Mataram, yaitu Kiai Gunturmadu dan Kiai Guntursari. Saat Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang membagi kerajaan Mataram, keduanya dibagi antara Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kiai Gunturmadu diserahkan kepada Kasultanan Yogyakarta, sedangkan Kiai Guntursari diserahkan pada Kasunanan Surakarta. Untuk mengembalikan gamelan pada kelengkapan semula, Kasultanan Yogyakarta membuat putran (duplikasi) dari Kiai Guntursari yang diberi nama Kiai Nagawilaga.
Dengan adanya latar belakang sejarah tersebut, maka tiap kali Sekaten berlangsung, gamelan KK Gunturmadu yang usianya lebih tua, selalu diletakkan di Pagongan Kidul, di sebelah kanan Sultan saat beliau duduk di Masjid Gedhe. Sementara KK Nagawilaga yang dianggap lebih muda, diletakkan di Pagongan Lor.
Prosesi dikeluarkanya Gangsa Sekati dari dalam keraton dilakukan pada tanggal 5 Mulud malam atau yang disebut dengan prosesi Miyos Gangsa. Setelah dikeluarkan, Gamelan Sekati ditabuh di Pagongan Masjid Gedhe dari tanggal 6 sampai dengan tanggal 11 Mulud, 3 kali sehari.
Pagi hari Gamelan Sekaten ditabuh sejak jam 08.00 hingga 11.00, siang hari sejak 14.00 hingga 17.00, dan malam hari sejak jam 20.00 hingga 23.00. Gangsa Sekaten tidak ditabuh pada hari Kamis petang sampai dengan selepas salat Jumat.
Terdapat 68 gending dalam ragam gending Sekaten, 16 diantaranya lazim dilantunkan selama prosesi Sekaten oleh Abdi Dalem Wiyaga Kawedanan Kridomardawa. Keenambelas gending yang dimainkan yakni rambu, rangkung, andong-andong, lunggadung pel, yahume, rendeng, dhendhang subingah, orang-aring, ngajatun, lenggang rambon, salatun, atur-atur, gliyung, bayemtur, burung putih, dan supiyatun.
Pada malam Garebeg Mulud, Kamis, 4 September 2025, (selepas prosesi penyebaran udhik-udhik dan pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW di hadapan Ngarsa Dalem), Gamelan Sekati dikembalikan ke dalam keraton melalui prosesi yang disebut dengan Kondur Gangsa. Adapun sebelum Kondur Gangsa, Ngarsa Dalem terlebih dulu meninggalkan Masjid Gedhe. Khusus pada Tahun Dal ini, Ngarsa Dalem Jengkar atau meninggalkan Masjid Gedhe dengan prosesi jejak banon atau jejak benteng (menjejak tumpukan bata yang melekat pada benteng) di sisi Selatan Masjid Gedhe. Hal ini untuk melambangkan dan mengenang usaha Pangeran Mangkubumi saat menyelamatkan diri dari serbuan musuh selepas salat Jumat di Masjid Gedhe.
Adapun sesampainya di keraton, Gamelan Sekati disemayamkan ke tempat semula, yaitu Kagungan Dalem Bangsal Trajumas. Dengan dikembalikannya Gamelan Sekati ke keraton, maka upacara Sekaten telah selesai dan dilanjutkan dengan prosesi Garebeg Mulud keesokan harinya.
Prosesi Mbusanani Pusaka, Bethak, dan Pisowanan Garebeg
Selain adanya Gunungan Brama dan Prosesi Jejak Benteng, dalam rangkaian peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Tahun Dal 1959, Keraton Yogyakarta juga melangsungkan Prosesi Mbusanani Pusaka. Prosesi ini dilaksanakan di kompleks Kedhaton pada hari Kamis (04/09), pukul 08.00 WIB.
Prosesi dilakukan oleh para Pangeran Sentana. Dalam prosesi Mbusanani Pusaka ini, beberapa pusaka Keraton Yogyakarta dikeluarkan dari ruang penyimpanan untuk dirawat dan diganti busananya (kain pelindung) sebagai persiapan menjelang upacara Garebeg Mulud.
Terdapat pula Prosesi Bethak yang dilaksanakan di Bangsal Sekar Kedhaton, kompleks Keputren, pada Kamis (04/09) petang. Prosesi ini dipimpin oleh GKR Hemas sebagai Permaisuri Dalem. Selepas maghrib, Sri Sultan menyerahkan pusaka Kanjeng Nyai Mrica dan Kanjeng Kiai Blawong kepada GKR Hemas. Dengan pusaka yang berbentuk periuk tersebut, GKR Hemas bersama dengan Putra dan Sentana Dalem Putri (putri dan kerabat wanita Sultan) menanak nasi sebanyak tujuh kali. Nasi yang dimasak dalam upacara Bethak tersebut diserahkan kepada Sri Sultan pada saat pisowanan (menghadap Sultan) keesokan harinya.
Jumat pagi (05/09), Prosesi Pisowanan Garebeg Dal 1959 dilaksanakan di Kagungan Dalem Bangsal Kencana pukul 09.00 WIB. Dalam prosesi, Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 mengambil nasi dari periuk Kanjeng Nyai Mrica, mengepal-ngepalnya menjadi bulatan kecil, lalu meletakannya pada piring Kanjeng Kiai Blawong. Nasi yang sudah dikepal oleh Sri Sultan dan kepalan nasi yang sudah dibuat sebelumnya kemudian dibagikan kepada GKR Hemas, diteruskan kepada para kerabat dan Abdi Dalem.
Malam hari setelah pelaksanaan Garebeg Mulud, digelar prosesi Bedhol Songsong di Kagungan Dalem Tratag Prabayeksa. Bedhol Songsong sejatinya merupakan prosesi mencabut (bedhol) paying (songsong) sebagai penanda berakhirnya rangkaian Hajad Dalem Garebeg Mulud.
Dalam sejarahnya, payung yang dimaksud dalam Bedhol Songsong merupakan payung-payung yang dimiliki para pejabat administratif Sultan dari luar keraton. Para pejabat di luar keraton ini, harus melakukan pisowanan saat rangkaian upacara Garebeg. Kedatangan para pejabat ini ditandai dengan menancapkan payung-payung milik mereka sebagai penanda kehadiran di halaman istana.
Peristiwa bedhol songsong atau mencabut payung sebagai penanda kepulangan para pejabat dari luar keraton ini sekaligus menjadi penanda berakhirnya rangkaian Hajad Dalem Garebeg dan Pisowanan Garebeg. Meski praktik berkemah tak lagi dilaksanakan oleh para pejabat keraton, namun esensi prosesi bedhol songsong kembali direkonstruksi dengan mencabut songsong ageng yang digunakan pada Hajad Dalem Garebeg Mulud yang digelar pagi harinya.
Pertunjukan wayang kulit sepanjang malam sebagai penanda ritual penutupan Garebeg Pada Garebeg Mulud Dal 1959, Bedhol Songsong digelar istimewa di Tratag Kagungan Dalem Gedhong Prabayeksa Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan dalang MB. Cermo Sugondo. Meski tak bisa dihadiri langsung oleh masyarakat, pementasan wayang kulit tersebut disiarkan di kanal YouTube Kraton Jogja mulai pukul 19.00 WIB.
Jam Operasional Museum dan Wisata Keraton Yogyakarta
Di sisi lain, berkaitan dengan pelaksanaan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 H/2025/Dal 1959, terdapat penyesuaian jam operasional museum dan wisata di Keraton Yogyakarta. Carik Kawedanan Radya Kartiyasa Nyi RRy. Noor Sundari menjelaskan untuk wisata Kedhaton atau bangunan inti keraton ditutup selama satu hari.
“Kedhaton libur pada Jumat (05/09). Wisata Kedhaton dibuka kembali pada Sabtu (06/09) dengan jam operasional 08.30-14.30 WIB,” jelasnya. Sementara, untuk Tamansari dan Kagungan Dalem Wahanarata, tetap dibuka seperti biasa dengan jam kunjungan pukul 09.00 WIB-15.00 WIB. (Feature of Impessa.id by Humas Kawedanan Tandha Yekti-Media Center Kraton Jogja-Antok Wesman)