Gusmen Heriadi Gelar Pameran Tunggal Bertajuk Belum Selesai Di Jogja Gallery 7-20 November 2021
Impessa.id, Yogyakarta: Ada yang menarik dalam pameran tunggal seniman Gusmen Heriadi yang sedang berlangsung di Jogja Gallery Alun-Alun Utara Yogyakarta, disebutkan bahwa Perempuan itu Multi-tasking, tertulis pada caption lukisan Seri Fashion, “Di Balik Kelembutannya, Ada Kekuatan Yang Tak Terkira”. Tampak sosok model wanita tinggi semampai mengenakan gaun merah jambu membelakangi lensa, namun dibaliknya tersembul pucuk senapan serbu mirip Kalasnikov 47, serem juga…
Lukisan itu merupakan salah satu figur yang ditampilkan Gusmen Heriadi, seniman Jogja asal Minang, yang tengah menggelar pameran tunggalnya ke-10 bertajuk “Belum Selesai”, di Jogja Gallery Jalan Pekapalan Alun-Alun Utara Yogyakarta, 7-30 November 2021, sebagai retrospeksi 25 tahun perjalanan karirnya.
Kepada Impessa.id, Sudjud Dartanto, Kurator Seni Rupa yang juga Penulis, dalam merespon karya-karya itu, mengambil perspektif manusia sebagai pangkal tolak Gusmen Heriadi, menurut Sudjud, sebagaimana umumnya perupa banyak mengambil obyek manusia karena terkait ekosistem bersama.
“Jenis kemanusiaan apa yang sedang di eksplorasi oleh Gusmen? Menurut saya ini yang menarik, kemanusiaan dalam tradisi realisme sosial itu kan kemanusiaan yang progresif, subyek atau tubuh itu digambarkan bergerak, progresif. Sementara pada tradisi yang melankolia, karena bagi saya, seorang Gusmen itu sosok melankolis, tubuh bagi dia itu bisa keluar dari ikatan apapun, ia ingin lepas dari struktur, maka bisa mendapatkan penjelasan sejumlah lukisan, drawing, itu kemudian banyak mengambil subyek-subyek manusia yang dari berbagai gestur. Umumnya gestur-nya itu gestur yang tenang, gestur-nya dalam kondisi yang tenang akhir-akhir ini. Tetapi kalau kita lihat pada periode di awal, tubuh itu hadir bersama atribusi visual yang lain, dan itu umumnya bentuk-bentuk yang saya sebut abstrak,” ungkap Sudjud Dartanto.
Menurut Dosen ISI Yogyakarta itu, Gusmen Heriadi menghadirkan karya-karyanya dengan rupa yang puitik, lahir dari tanah Minang, kakaknya seorang penulis, jadi wilayah sastra tulis dan sastra lisan itu juga sedikit banyak mempengaruhi cara Gusmen mengolah simbol-simbol. “Jadi menurut saya simbol-simbol ini simbol-simbol puitik. Ini tidak mudah. Untuk melahirkan suatu simbol dengan kekuatan puitika, itu gak gampang, karena dia harus memainkan efek puitik, efek maknanya dan sebagainya. Itu nampak pada karya-karyanya yang berukuran kecil-kecil, begitu kuat simbol-simbol tersebut,” ujar Sudjud Dartanto.
Lebih lanjut dijelaskan, di periode inter-fase, Gusmen hadir dengan karya yang melingkar, periode lama bisa dia tinjau lagi untuk dia olah. Periode lama bisa menjadi cara kreasi baru dia tidak pernah merasa selesai pada satu fase, tapi dia bisa ulang lagi ke periode awalnya dia lihat terus dia teliti lagi dia respon terus kembali ke periode yang baru. Proses ulang-alik yang menarik dari metode kerja Gusmen Heriadi. "Dari kerja artistiknya, sudah tidak disangsikan lagi, orang yang terlatih sekali dengan skill seperti ini tidak ada kesulitan untuk menuangkan apa yang dia ingin simbolkan," imbuhnya..
Menyaksikan pameran Gusmen ini publik dapat melihat bagaimana manusia itu divisualisasikan dengan bahasa puitik, sekaligus membuka keilmuan bagi studi-studi psikologi, karena bagaimana memahami kondisi eksistensial manusia bisa ajak ngobrol sama Gusmen tentang hidup berat di penjara sehingga baginya menjadi perenungan.
Sujud Dartanto menilai bahwa Gusmen adalah seorang eksistensialis karena dia selalu menggelisahkan dirinya, inspirasinya dating dari percakapan, dia senang ngobrol dengan siapapun yang memiliki drama hidup yang kuat, jadi pendekatannya adalah drama yang diangkat menjadi bahasa rupa. Gusmen juga seorang melankolis karena kuat sekali dalam bahasa puitiknya. “Ia adalah aset perupa Indonesia yang mewartakan spirit universal, dalam arti karya-karyanya dapat diapreasiasi oleh manusia tanpa batas," tutur Sujud Dartanto.
Pameran tunggal Gusmen Heriadi menampilkan 150 karya terdiri dari sketsa, drawing, lukisan dan karya tiga dimensi, dimana Gusmen menunjukkan kekayaan teknik dan keberagaman tema yang diangkatnya. Untuk memperkaya pembacaan dan tafsir atas karya-karyanya, Gusmen mengundang delapan teman-teman terdekatnya untuk menulis, me-review dari berbagai latar belakang penulis. Mereka adalah AA Nurjaman (penulis seni rupa), Sudjud Dartanto (kurator dan Dosen seni rupa ISI Yogyakarta), Heru Joni Putra (sastrawan), Yaya Marjan (jurnalis), Wenri Wanhar (sejarahwan dan jurnalis), Rijal Tanmenan (etnomusikolog), Syam Terrajana (perupa dan jurnalis) dan Syofiardi Bachyul Jb (penulis dan jurnalis).
Tajuk “Belum Selesai” sengaja dipilih sebagai penanda pergumulan proses kreatif yang terus menerus bereksplorasi, tanpa dikekang batas, tema atau sesuatu yang jadi ciri khas.
“Bagi Gusmen, suatu ciri khas kesenimanan tidaklah penting, yang penting justru mengembangkan hasrat berkarya yang kemudian diarahkan melalui kekuatan konsepsinya. Kekuatan dorongan hasrat inilah yang kemudian mampu mengkonseptualisasikan untuk ‘berbeda’ dan ‘menjadi’, yang dikaitkan dengan keterbukaan seiring perubahan sistem-sistem,” ujar AA Nurjaman.
Menurut AA Nurjaman, pada periode awal proses kreatifnya (1995-2004), Gusmen sudah menunjukkan keragaman gaya, itu seperti mempertegas kebebasannya dari kungkungan ciri khas kesenimanan. Suatu ketika ia menampilkan lukisan realistik, di saat lainnya bergaya surealistik, kubistik, bahkan abstrak. “Seperti seorang pekerja nomad, Gusmen tidak peduli dengan pengkategorian gaya-gaya lukisan ala Barat. Klasifikasi para filsuf Barat terhadap karya seni hanya berakibat mempersempit daya imajinasi seniman,” imbuh AA Nurjaman.
Pada periode kedua (2005-2021) Gusmen mulai membuat karya-karya seri tematik, antara lain, seri kotak kaca, seri kota, seri kembang alam, seri kabar, seri kitab, seri tamu, seri fashions, seri hening, seri puncak, seri bunyi dan seri semesta intuisi. Lukisan-lukisan seri tematik Gusmen juga menampilkan beragam gaya atau style, mempertegas kebebasannya dari kungkungan ciri khas kesenimanan.
Sejarahwan dan jurnalis, Wenri Wanhar, yang didapuk jadi perespons untuk karya serial “Kitab” dan “Kembang Alam” menilai Gusmen bukan sekadar pelukis. Tapi juga filsuf. Melalui fragmen lukisan Seri Kitab, Gusmen mempertontonkan hamparan buku, wajah-wajah para pemikir yang mempengaruhi selapis peradaban dunia.Jika buku adalah lambang pengetahuan, semakin manusia menceburkan diri ke dalamnya, maka harapannya relasi manusia dengan semesta semakin baik. Karena yang memimpin adalah ilmu pengetahuan.
Sedangkan pada Seri Kembang Alam, Gusmen merepresentasikan kenyataan berkebalikan. Ia menggunakan simbol satwa, termasuk manusia, dan yang tak terlihat pada ruang hidup yang seolah menanti kemusnahan di ujung jalan. “Dua seri lukisan ini mengajak kita membaca kontradiksi. Landskap kehidupan yang berjalan menuju arah saling membelakang. Manusia merasa bergerak maju dengan ilmu pengetahuannya, namun keselarasan alam raya malah mengalami kemunduran. Ada relasi yang rusak. Ada kausalitas yang sesat,” jelas Wenri Wanhar.
Di antara karya-karyanya, Gusmen menyisipkan babak kecil dalam perjalanannya berkesenian, berupa sketsa-sketsa yang dibuatnya saat mendekam selama satu setengah bulan di penjara di Yogyakarta. Peristiwa itu terjadi pada 1997. Gusmen masuk bui karena terjaring operasi razia senjata tajam. Polisi mendapati sebilah rencong dalam tasnya di kawasan Malioboro. Padahal rencong itu adalah cinderamata dari kawannya asal Aceh.
Di penjara, Gusmen membuat belasan sketsa, menggambarkan suasana kehidupan orang-orang pesakitan. Kertas dan bolpoin dia peroleh dari Ibrahim, kawan sesama perupa dan mahasiswa ISI Yogyakarta. “Ada satu hal kuperoleh dari pergaulanku dengan sesama napi; rata-rata dari mereka tak merasa benar-benar bersalah tetapi dihukum. Dalam penjara, aku juga mahfum. Hukum bisa dibeli. Seorang jaksa menemui kawanku. Meminta sejumlah uang untuk meringankan hukumanku,” aku Gusmen kepada awak media, Kamis (4/11/2021)
Gusmen Heriadi lahir di Pariaman, 18 Agutus 1974, tamat Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Padang Panjang, Sumatera Barat (1994) dan melanjutkan studi ke Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia -ISI Yogyakarta, Lulus 2005. Sejumlah penghargaan bergengsi yang berhasil diraih antara lain, “Best Works BAKABA #6 Sakato Art Community, Yogyakarta, Indonesia” 2017. “Special Appreciation of Jakarta Art Award, Indonesia” 2006. “CP BIENNALE Jakarta, Indonesia” 2003. “Finalist of Indofood Art Award, Indonesia” 2002. “Finalist of Philip Morris Art Award, Indonesia” 2000–1998, The Best Acrylic Painting, ISI Yogyakarta, Indonesia” 1997, “The Best Watercolor Painting, ISI Yogyakarta, Indonesia” 1996.
Kakak kandung Gusmen Heriadi, Syofiardi Bachyul mengenang adiknya itu sebagai anak nakal. “Mungkin pengaruh ia lahir bulan Agustus dan berbintang Leo. Bisa juga campuran nakal dengan keingintahuan yang tinggi. Waktu masih bisa merangkak ia pernah hanyut dan nyaris digilas mobil,” ujarnya.
Gusmen juga pernah diusir Guru Fisika dari kelas dan disuruh menghormat bendera di lapangan hingga jam pelajarannya usai. Ia dihukum karena saat Bu Guru menerangkan pelajaran Gusmen kedapatan asyik menggambar. Kesukaan membaca komik juga berpengaruh besar kepada Gusmen untuk menjadi pelukis. “Saya sering memintanya membuat ilustrasi untuk halaman cerpen yang saya kelola,” papar Syofiardi yang berprofesi jurnalis dan menyukai karya sastra.
Ayah dan Ibu, tulis Syofiardi, bukanlah orang terpelajar dalam pengertian mengenyam sekolah formal. Mereka tidak tamat sekolah dasar. Keluarga besar Gusmen Heriadi juga tidak ada yang seniman. Ayahnya seorang tukang. “Tetapi Ayah seseorang yang menghargai karya, meski dalam bentuk karya pertukangan. Ia tidak pernah menceritakan hasil pekerjaannya dari jumlah uang yang ia dapatkan, melainkan mengagumi bentuk dan kekuatannya. Ia tak kenal lelah dan juga tidak menyukai ada kekurangan pada ciptaanya. Terkadang ketika melihat Gusmen melukis, saya teringat Ayah mengerjakan pembuatan pintu rumah, meja, atau menghaluskan plester dinding. Mungkin dari situlah darah itu mengalir dengan medium yang berbeda: ketekunan, keinginan sempurna, dan tak kenal lelah,” tulisnya.
Perespon lainnya yakni Syam Terrajana yang pernah akrab dengan Gusmen di Studio Ruang Dalam di Kawasan Jeblog, Nitipuran, di tahun 2018, merespon karya-karya Seri Tamu, “Ruang Tamu itu suatu keasingan yang kita akrab dengannya, dan kita memberikan tempat, untuk kedatangan orang-orang yang baru datang, kita berimajinasi, siapa yang bakalan datang, di tempat itu menggambarkan situasi psikologi kita, bermacam-macan dipajang disitu, untuk menunjukkan identitas tuan rumah. Pada salah satu karya seperti hutan disitu kita seperti sedang mengembara di hutan luas untuk menemujkan keasingan-keasingan baru,” ungkap Syam kepada Impessa.id.
Ragam karya Gusmen Heriadi oleh Yaya Marjan, jurnalis, yang merespon karya Seri Kabar. Berawal dari apa yang dia alami, terus mencari, membaca informasi dari Surat Kabar, media apapun, karena menurut Gusmen, informasi, kabar, itu penting, meski harus menyaringnya agar tidak terjerat jika informasi itu hoax, misalnya, ditengah derasnya informasi digital di masyarakat, dan hal itu oleh Gusmen dipertanyakan kepada teman-teman jurnalisnya bahkan ke kakaknya yang juga jurnalis.
Pameran Retrospeksi, merupakan program Jogja Gallery yang ditawarkan kepada seniman dengan rentang waktu proses kreatif, minimal 25 tahun. “Tujuannya, untuk merekam dan melakukan pembacaan utuh atas karya-karya yang dihasilkan seniman dalam rentang waktu itu. Gusmen Heriadi mendapatkan kehormatan menjadi seniman pertama dalam program ini,” ujar General Manager Jogja Gallery, Daru Artono. (Titik RDAH/Antok Wesman-Impessa.id)