Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta Gelar Diseminasi Nilai Budaya Gandeng Gendong
Impessa.id, Yogyakarta: Lingkungan kehidupan global yang semakin dinamis dan berubah menjadi tantangan bagi sebuah Kota untuk dapat melestarikan tradisi budaya masyarakatnya. Pemerintah Kota Yogyakarta selalu berupaya agar generasi mudanya terus memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai luhur yang telah membentuk identitas jati-dirinya.
Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Kebudayaan Kota menggelar Diseminasi Nilai Budaya bertema "Gandeng Gendong" pada Selasa, 23 Maret 2021, bertempat di Hotel Tara Jalan Magelang Nomor 129, Kricak, Tegalrejo, Kota Yogyakarta.
Agenda yang menerapkan Protokol Kesehatan secara ketat menghadirkan Bambang Anjar SIP – Anggota Komisi D DPRD Kota Yogyakarta, Ketua Forum Museum Kota Yogyakarta, Ketua RKB Kota Yogyakarta, Ketua Kelurahan Budaya Kota Yogyakarta, TACB, TP2WB, Ketua PEPADI Komda Kota Yogyakarta, Perwakilan Pamerti Wiji, Ketua MGMP Sejarah, Ketua MGMP Bahasa Jawa, Kelompok Seniman Yogyakarta, dan Diajeng Sekarsari sebagai moderator.
Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta Yetty Martanti MSos MM, menjelaskan bahwa Yogyakarta adalah sebuah Kota yang memiliki nilai-nilai yang berakar dari kehidupan sosial dan budaya yang diyakini masyarakatnya. Salah satu nilai kebaikan yang terus ditumbuhkan adalah semangat Gotong Royong. Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk ber-gotong-royong mencapai kesejahteraan yang merata.
“Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya pengembangan implementasi dari nilai-nilai luhur gotong-royong yang telah dirumuskan dalam program Gandeng Gendong oleh Pemerintah Kota Yogyakarta,” tutur Yetty Martanti.
Diseminasi nilai budaya dikemas dalam agenda yang menarik dan inovatif bagi masyarakat. Seluruh peserta diajak untuk menyaksikan dan mengupas film tentang semangat solidaritas dan nilai-nilai gotong-royong dipandu oelh Wakil Walikota Drs Heroe Poerwadi MA.
Dalam uraiannya, Wakil Walikota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengungkapkan Kota Yogyakarta dengan berbagai macam permasalahannya, dari kemiskinan sampai pada penataan kota, sehingga kemudian sampai muncul istilah Gandeng Gendong yang kini menjadi gerakan bersama di Kota Yogyakarta.
“Beberapa hal dari permasalahan itu sudah dicoba dilakukan oleh banyak pihak, cenderung tidak berhasil karena ada kesenjangan, kemiskinan masih banyak. Struktur demografi yang kita miliki utamanya dari pekerjaan di sektor jasa, sehingga mau tidak mau pertumbuhan ekonomi kita berasal dari sana dan pendorongnya itu dibidang pendidikan dan pariwisata. Nilai yang beredar di kedua bidang itu di Yogyakarta dan sekitarnya, lebih dari satu trilyun per-bulannya. Di bidang pendidikan kita punya 300-ribu mahasiswa yang aktif kuliah, kalau dari jumlah itu per-bulannya menghabiskan uang untuk makan-minum minimal satu-juta rupiah, itu suidah 300-milyar. Misalnya mereka yang kost separuhnya, taruhlah biaya kost yang paling murah 500-ribu paling tinggi sampai 3-juta, kita ambil rata-rata satu-juta, itu sudah 150-milyar. Total sudah 450-milyar minimal uang yang beredar dari mahasiswa per-bulannya,” jelasnya.
“Kalau dari Pariwisata, dari turunnya penumpang pesawat, penumpang Kereta Api atau kendaraan pribadi, atau Bus, itu yang per-harinya sekitar 25-30-ribu, kalau membelanjakan oleh-oleh satu-juta, itu sudah 30-milyar, kalau nginepnya dua hari, itu sudah dua-juta lebih, jadi yang bisa mengakses itu hanya menengah-atas, sehingga menengah-bawah tidak terakseskan. Nah Gandeng-Gendong itu kemudian muncul karena untuk bisa menurunkan kesenjangan yang menengah-atas harus menggandeng yang menengah-bawah,” ungkap Haroe Poerwadi.
Menurut Wawali Kota Yogyakarta, kalau dari sisi pendapatan, Kota Yogyakarta bukan Kota yang pendapatannya paling rendah, meskipun UMR nya termasuk rendah tapi dari sisi kesejahteraan pendapatan bukan yang paling rendah, karena IPM Yogyakarta itu tinggi. IPM itu dinilai dari tiga hal, pendidikan, kesehatan dan pendapatan. Itu tertinggi di Indonesia IPM nya, artinya dari sisi pendapatan tinggi tetapi ketika pendapatan itu dibandingkan dengan menengah-atas dengan bawah jadi timpang karena kesenjangannya banyak, yang menengah-atas untuk menggapai satu trilyun mudah, tetapi yang menengah-bawah untuk menggapai satu trilyun kesulitan aksesnya. Makanya kemudian kita gandeng-kan antara mereka yang menengah-atas dan bawah.
Pemkot Yogyakarta awal-awalnya mendorong bagaimana Hotel, Resto, Corporate di ajak datang ke kampung-kampung untuk mengangkat mereka. Itu bukan Charity atau Belas Kasihan, tetapi harus dibuat banyak aliansi bisnis, masing-masing memperoleh keuntungan.
“Makanya kita buat agar gerakan ini semuanya memperoleh keuntungan. Gerakan pertama itu Nglarisi, kita mengumpulkan ibu-ibu atau bapak-bapak yang biasanya jualan Gorengan, untuk kemudian kita beli, Pemkot yang membeli. Waktu itu kita persyaratkan bahwa ibu-bapak bisa menggandeng minimal lima KMS, semisal kalau ada 10 orang, maka lima atau tiganya itu KMS. Sehingga di kampung itu KMS mendapatkan pekerjaan dan pendapatan,” jelas Heroe Poerwadi.
“Awalnya makanan yang diterima Klomoh atau terlalu berminyak dan ukurannya besar-besar, sehingga kami mengundang Chef Hotel untuk sharing ilmu cara memasak agar makanan tidak klomoh dan tidak harus berukuran besar-besar, tetapi enak dan sehat, berkualitas. Bahkan pihak hotel juga membeli produknya tersebut. Dari kelompok ini yang sebelumnya omzetnya per bulan 15-20 juta, meningkat sampai 70-150 juta. Selain dibeli oleh Pemkot mereka juga menghubungi universitas-universitas, kantor-kantor sehingga mereka terus berkembang bahkan mulai merekrut pegawai baru, dan bisa menyekolahkan dua warga yatim-piatu di kampungnya,” tuturnya lebih lanjut.
Nilai kebersamaan inilah yang sebenarnya dibangun, Di masing-masing kelompok pasti ada yang punya uang banyak sehingga bisa nalangi dulu, karena yang dari Pemkot bayarnya bisa tertunda sepekan, padahal itu modal harus berrputar. Dua diantara mereka pandai masak sedang yang dari KMS bertugas mengantar pesanannya yang penting dipekerjakan.
Pernah disaat pandemi merebak, banyak warga yang terpapar sehingga harus isolasi, maka Dinas Sosial membuka Dapur Umum, bahkan sempat kuwalahan karena setiap harinya harus menyiapkan sampai ribuan ransum, sehingga ada inisiatif masaknya dibagi-bagi ke Kelurahan, yang menangani petugas Gandeng-Gendong setempat, sayurannya membeli di e-Warung, dan e-Warung tersebut mengambil bahan dari petani Sayur dan peternak Ikan Lele, Pemkot yang membayarnya.
“Intinya Gandeng Gendong sebenarnya potensi yang kita miliki itu kalau bareng-bareng digandengkan bisa memiliki kekuatan baru dan uangnyapun beredar juga disitu. Semuanya Happy karena semuanya Kepayon. Kemudian Gendongnya siapa, yaitu sejumlah Toko Jejaring, kita ajak untuk menjualkan produk mereka, juga beberapa hotel kita ajak untuk menjualkannya,” aku Wakil Walikota Yogyakarta.
Pengembangan selanjutnya dengan Gowes. Tamu-tamu di hotel tersebut ditawari bersepeda masuk kampung, masuk pit-stop kampung untuk makan-minum, dan kampung-kampung menyiapkan oleh-oleh paketan berkualitas bagus, Hotel kerjasama dengan Jogja Bike, menyiapkan sepeda, tour guide-nya dari komunitas-komunitas sepeda yang bisa membantu.
"Kalau mau kita ambil substansinya lagi, Jogja itu kan hidupnya dari Gotong-Royong, di tiga bulan pertama pandemi, uang yang beredar dari masyarakat untuk masyarakat, baik dalam bentuk sembako, dalam bentuk masker dsb itu sebanyak 7,8 milyar, dari masyaraat ke masyarakat, dari yang memberikan nasi gratis, cantelan sayuran, data dari masing-masing kelurahan, artinya kebersamaan itulah yang sebenarnya yang ingin kita kembangkan termasuk pembangunan kampung, melalui skema besar Master Plan Gandeng-Gendong. Agar warga tahu kapan daerahnya dapat giliran dibangun," ungkap Wawali.
Jadi, Wawali menyimpulkan, Gandeng-Gendong itu disamping saling berbagi, saling perduli, juga saling memajukan. Saling berbagi kepada sesama, nyantelke bagehi, saling perduli antara yang setara dan tidak setara, tetapi semuanya ingin saling memajukan. Itulah nilai dasar orang-orang Jogja yang menjadikan Jogja itu masih eksis sampai sekarang. (Humas DisBud Kota/Antok Wesman-Impessa.id)