Wajah Jakarta Dalam Sihir Hujan Di Sastra Bulan Purnama Tembi-Sewon, Bantul, 17 Juli 2019
Impessa.id, Yogyakarta : Kali ini tiga penyair dari kota yang berbeda meluncurkan tiga antologi puisi karyanya. Ristia Herdiana (Jakarta) buku puisinya berjudul ‘Sihir Hujan’, Sudarmono (Bekasi) menyajikan buku ‘Jika Jakarta Libur Sehari’ dan Yuliani Kumudaswari (Sidoarjo) buku puisinya berjudul ‘Wajah Senja”. Ketiga buku puisi tersebut diluncurkan di Sastra Bulan Purnama edisi 94, Rabu, 17 Juli 2019, pukul 19.30 WIB di Amphytheater Tembi Rumah Budaya, Jalan Parangtritis Km 8,5, Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta.
Tajuk dari Sastra Bulan Purnama edisi 94, mengambil formulasi dari tiga judul buku puisi karya tiga penyair tersebut, sehingga berbunyi ‘Wajah Jakarta Dalam Sihir Hujan’. Kata wajah di ambil dari judul buku Yuliani dan kata Jakarta diambil dari buku puisi Sudarmono, yang ditutup dengan judul buku karya Ristia Herdiana, ‘Sihir Hujan’.
Selain tiga penyair membaca puisi karya masing-masing. Puisi karya dari tiga penyair dibacakan oleh para penyair lainnya, atau para pembaca puisi yang lain. Puisi Sudarmono dibacakan oleh Dedet Setiadi, penyair dari Ngluwar, Magelang dan Tosa Santosa, pegiat fashion show. Puisi Ristia Herdiana dibacakan oleh Syam Chandra, penyair dari Yogya, Essy Masita, disainer terkenal dari Yogya dan nDari Andrian, aktivis perempuan dan politik tinggal di Bantul.
Yantoro, pemain teater dari Yogya, dan Savitri Damayanti, aktivis perempuan berduet membacakan puisi karya Yuliani Kumudaswari yang berjudul ‘Via Dolorosa’. Nunung Deni Puspitasisari, yang dikenal sebagai pemain teater, termasuk sering ikut main Teater Gandrik, ikut tampil membacakan puisi karya Yuliani Kumudaswari.
Perempuan pemain teater yang dikenal dengan nama Si Thenk, mengolah dua puisi Yuliani Kumudaswari berjudul ‘Bukan Aku’ dan ‘Nyanyian Nina Bobo’ dalam bentuk teater tubuh, atau dalam istilah Si Thenk sendiri disebutnya sebagai ‘menubuh suarakan puisi’. Thenk, demikian panggilannya, alumni ISI Jurusan teater memang memiliki komunitas teater perempuan, dan bersama dengan komunitasnya merespon puisi Yuliani dalam bentuk teater tubuh.
Selain itu, 4 puisi karya Yuliani Kumudaswari dibuat lagu oleh dua pemain musik yang berbeda. Giwang Topo, yang sering mengolah puisi menjadi lagu, dan sajiannya seringkali kuat dalam nuansa rock, menggubah dua puisi Yuliani yang berjudul ‘Di Kaki Bukit Hermon’ dan ‘Setangkai Kembang Tebu’ menjadi lagu.
Ana Ratri dan Nyoto Yoyok, menggubah dua puisi Yuliani masing-masing berjudul ‘Puisi Patah’ dan ‘Bahasa yang tak sama’ menjadi lagu. Kedua pemain musik itu mempunyai ‘genre’ yang berbeda dalam mengolah puisi, meskipun alat musik yang dipakai sama, yakni gitar akustik, tetapi keduanya sering melengkapi dengan alat musik lainnya, misalnya, kahon dan biola. Kedua pemain musik ini sudah sering tampil di Sastra Bulan Purnama, dan di beberapa panggung sastra lainnya.
Ons Untoro koordinator Sastra Bulan Purnama mengutarakan, bahwa ketiga penyair yang kali ini (di-)hadir(-kan) sudah seringkali tampil di Sastra Bulan Purnama, dan khusus untuk peluncuran antologi puisi tunggal, karya Sudarmono merupakan buku puisi pertama karyanya yang diterbitkan secara tunggal. Puisi-puisi Sudarmono lebih banyak dibukukan dalam bentuk antologi bersama sejumlah penyair.
“Tapi untuk Yuliani Kumudaswari, buku yang diluncurkan ini merupakan buku puisi yang keempat dan Ristia Herdiana merupakan buku puisi yang ketiga..Kedua penyair perempuan, ditengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga dan kegiatan usaha lainnya, masih bisa menyisihkan waktu untuk menulis puisi” ujar Ons Untoro. (Ons/Antok Wesman)