Feature

Pameran Batu Bertutur Di Bentara Budaya Yogyakarta, 15-23 September 2018

Pameran Batu Bertutur Di Bentara Budaya Yogyakarta, 15-23 September 2018

Pameran Batu Bertutur Di Bentara Budaya Yogyakarta, 15-23 September 2018

Impessa.id, Jogja : Bulan September 2018, tepatnya 26 September 2018, Bentara Budaya merayakan ulang tahunnya yang ke-36. Di awal September digelar pameran koleksi Bentara Budaya berupa 52 karya, dan untuk acara ulang tahun, pada tanggal 15 hingga 23 September 2018, Bentara Budaya Yogyakarta menghelat pameran seni rupa bertemakan “Batu Bertutur” yang  dibuka oleh Ibu Telly Liando dari Ohana Gallery Jakarta, dan pembukaannya dimeriahkan oleh JB Blues, Ikhlas Experience dan Taksu. Acara Septemberan ditutup dengan Pasar Yakopan.

Hermanu melalui catatan pengantar pameran menuturkan bahwa batu adalah materi alam yang fundamental. “Setiap hari batu terhampar sebagai materi yang kelihatannya sangat tidak berarti. Spontan yang ada di kepala, batu itu paling-paling hanya digunakan untuk pondasi bangunan, dan pecahannya untuk pondasi jalan. Sesepele itu anggapan kita, padahal batu adalah materi purba yang bermilyar tahun ada sebelum manusia ini ada,” ungkap Hermanu selaku kurator Bentara Budaya Yogyakarta.

Dikatakan, ketika orang hidup dalam keyakinan animisme, mereka percaya bahwa batu itu hidup, atau di dalam batu itu ada jiwa yang menghuni. Karena itu tak boleh sembarangan orang memindahkan apalagi menghancurkan batu. Sampai sekarang banyak orang masih percaya, bahwa batu itu adalah tempat hunian makhluk halus.

Sebagai contohnya, di Kali Boyong, tak jauh dari Sendang Bagong yang ada di bawah tebing Karang Klethak, dusun Wonorejo, Hargobinangun, Pakem, ada sebuah batu yang disebut Kyai Rante Mas. Menurut dongeng, batu itu tak pernah bergerak kendati hantaman lahar dingin yang membawa batu-batuan dari Gunung Merapi. Batu itu dikelilingi sebuah rantai terbuat dari emas. Banyak orang pencari kesaktian datang ke Kali Boyong, bertirakat di malam hari dan mencoba mengambil rantai emas itu untuk dijadikan pusaka, tapi mereka tak pernah berhasil, malah terpental ketika mencoba mengambilnya.

Cerita tentang Sela Gilang. terkait dengan kekuasaan Keraton Jawa yang tak bisa lepas dari Sela Gilang. Di daerah Banten, pengambilan sumpah raja-raja dilakukan di batu yang disebut Watu Gilang. Di Cepuri Parangkusumo juga ada Sela Gilang yang dikeramatkan dan menurut budaya tutur, di tempat itulah Ratu Kidul bertemu dengan Panembahan Senapati, Raja Mataram. Batu itu tempat menjalin cinta mereka berdua, karenanya batu tersebut juga disebut Batu Cinta.

Batu Akik nan indah, berwarna-warni. Lebih dari keindahan itu, Batu Akik juga dianggap bertuah. Ada Batu Akik untuk memikat cinta, untuk mencari jodoh, untuk membawa rejeki, pamor, pangkat dan sebagainya. Tak heran bila banyak orang, lebih-lebih pejabat gemar menghiasi jari tangannya dengan Batu Akik.

Batu juga elemen dasar bagi pembangunan Candi, seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Boko, dan Candi Sewu. Betapa indah batu-batu itu setelah disusun menjadi bangunan kebudayaan dan seni. Batu Candi itu akhirnya menjadi warisan kebudayaan yang membanggakan bangsa.

Rupanya batu adalah keadaan purba, di mana manusia bisa dikembalikan kepada kepurbaannya. Lihatlah kisah Maling Kundang, karena durhaka terhadap ibunya, ia dikutuk menjadi batu. Atau kisah Dewi Windradri, yang dikutuk menjadi batu oleh Resi Gautama, karena ia diam bagaikan tugu, ketika diminta untuk menerangkan dari mana ia memperoleh Cupu Manik Astagina, yang berisi alam semesta itu. Ada pula istilah Kepala Batu, Hati Sekeras Batu, meski batu juga mempunyai kelembutan dan keindahan yang luar biasa.

Sebanyak 26 seniman, baik pematung maupun pelukis, menampilkan karya tentang kedahsyatan dan kekayaan batu. Para seniman itu mempunyai kreativitas untuk merespon tema batu dan menjadi cerita tentang batu, atau menjadi tempat di mana batu itu boleh merayakan diri, bertutur dan bercerita tentang dirinya kepada manusia. Nama seniman yang ikut dalam pameran Batu Bertutur yakni, Basrizal Albara, Budi Ubrux, Budiyana, Darmawan Saputra, Dunadi, Edi Priyanto, Edi Sunaryo, Hedi Hariyanto, Hermanu, Komroden Haro, Laksmi Shitaresmi, Liek Jie Waljiono, Liquid Color,Lucia Hartini, Maman Rahman, Nasirun, Pramono Pinunggul, Rommy,Sigit Santosa, Subandi Giyanto, Suitbertus Sarwoko, Susilo Budi Purwanto, Ugy Sugiarto, Valentinus Rommy Setiawan, Wayan Cahya, Win Dwi Laksono, dan Yuli Kodo,

Pameran juga menampilkan koleksi batu milik Ibu Telly Liando, pemilik Ohana Gallery Jakarta. Selain mengoleksi lukisan, Ibu Telly juga dikenal sebagai Penggila dan Pencinta Batu. Pelbagai jenis batu dengan aneka bentuk dan gambarnya kini tersimpan di galerinya. “Kami berterima kasih pada Ibu Telly, yang memperkenankan sebagian koleksi batu-batunya itu dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta kali ini. Terlihat dari koleksi tersebut, betapa batu-batu itu menyimpan keindahan, kelembutan yang tak terkira. Batu-batu itu seakan bercerita tentang keindahan yang demikian misterius dan alami, yang tak mungkin bisa dihasilkan oleh manusia, sehebat apa pun dia,” pungkas Hermanu. (Wur/Tok)