Feature

ARIF FURKON dan the FREAKSHOW Membuat Penonton Di PSBK Yogyakarta Terpaku Diam Saking Apiknya Pertunjukan KAMI TIDAK DIUNDANG SEJARAH, MAKA KAMI BERAKAR DI TANAH

ARIF FURKON dan the FREAKSHOW Membuat Penonton Di PSBK Yogyakarta Terpaku Diam Saking Apiknya Pertunjukan KAMI TIDAK DIUNDANG SEJARAH, MAKA KAMI BERAKAR DI TANAH

ARIF FURKON dan the FREAKSHOW Membuat Penonton Di PSBK Yogyakarta Terpaku Diam Saking Apiknya Pertunjukan KAMI TIDAK DIUNDANG SEJARAH, MAKA KAMI BERAKAR DI TANAH

Impessa.id, Yogyakarta: Padepokan Seni Bagong Kussudiardja -PSBK Yogyakarta menghadirkan kembali Dialog Lensa dan kali ini untuk edisi yang ke-5, menghadirkan dua bentuk karya yang saling berkesinambungan yakni Pameran Instalasi Multimedia berjudul “Yang Timbul dan Tenggelam serta Ingatan Yang Terukir Pada Air (2024) karya Arif Furkon, kemudian pertunjukan berjudul “Kami Tidak Diundang Sejarah, Maka Kami Berakar Di Tanah” sebagai hasil kolaboraso Arif Furkon dengan kelompok pertunjukan the Freakshow.

Dialog Lensa, ruang ekspresif yang digagas pada 2020, mempertemukan forografer dan para kreator termasuk musisi, koreografer, dan editor video, yang mendorong proses kreatif lintas disiplin, difasilitasi sepenuhnya oleh PSBK.

Sejak 2024, proyek seni “Yang Timbul dan Tenggelam Serta Ingatan Yang Terukir Pada Air” menjalani proses riset dan pengembangan bersama PSBK dan Asembly 197-Tasmania, Australia, dalam program bernama Situate. Proyek seni itu juga mendapat dukungan dari Regional, sebuah inisiatif dari Asialink Arts di Universitas Melbourne Australia, dan kontribusi dari The Yulgilbar Foundation, Circle 5 Foundation, serta Konfir Kabo dan Monica Lim.

Dialog Lensa Episode Ke-5 berjudul “Membaca Sejarah Melalui Ingatan Yang Diukir Air” mengeksplorasi dinamika lanskap dan ingatan, terinspirasi dari perubahan fungsi lahan di area Bendungan Gajah Mungkur – Wonogiri, Jawa Tengah, yang dibangun pada tahun 1970-1980-an, yang menenggelamkan 51 desa dan merelokasi lebih dari 65-ribu warga.

Menyusutnya air bendungan di setiap musim kemarau, membuat jejak-jejak peradaban yang pernah ada kembali muncul kepermukaan. Siklus timbul dan tenggelam tersebut adalah metafora bagi narasi dan ingatan, yang tidak sepenuhnya hilang. Setiap air surut, warga memanfaatkan tanah terbuka menjadi lahan pertanian. Namun siklus pasang-surut air itu telah mengikis sisa peradaban dan lambat laun akan beralih fungsi menjadi lahan mata pencaharian warga.

Lewat instalasi kain transparan berlapis, seolah menangkap proyeksi dalam versi dan distrosi. Suatu ruang reflektif tentang bagaimana perubahan lanskap mempengaruhi ingatan, strategi bertahan hidup, dan membentuk ruang identitas.

Dalam performance berjudul “Kami Tidak Diundang Sejarah, Maka Kami Berakar Di Tanah”. Disini penonton diharuskan menghidupkan HP dilengkapi dengan earphone, menginstal barcode yang tersaji, dan diajak touring tanpa alas kaki, sepatu dimasukkan kekantong plastik kuning, berjalan mengikuti garis ‘Police Line’ menuju titik yang ditentukan lewat informasi dari pemandu. Penonton diinstruksikan untuk mengambil sebutir batu dan berdialog dengannya lewat pesan diatas batu itu, kemudian memasuki ruangan berisi instalasi kain transparan berlapis, dengan pencahayaan redup, remang-remang, agak gelap, hening, tiba-tiba muncul monster putih merangkak mendekati penonton. Setelah cukup berkeliling di ruangan gelap itu, monster putih itupun mendobrak pintu, keluar berjalan menuju ke suatu titik, diikuti seluruh penonton, akhirnya berhenti di dekat ‘jogangan’ lubang galian tanah, si monster melepas penutup tubuhnya dan membuangnya kedalam lubang galian itu, tampaklah wujud asli sang monster, makhluk hijau bertotol bunga-bunga, tinggi semampai dengan kuku-kuku jarinya runcing-panjang menyeramkan, terjadilah dialog tanpa kata dengan audiens.

The Freakshow hadir sebagai tubuh yang menyusup dan menumbuhkan diri di antara instalasi karya Arif Furkon. Jika karya isntalasi itu mempertanyakan cara mengarsipkan ingatan, maka the Freakshow menjelma sebagai jawaban yang tidak logis, tetapi tidak bisa diabaikan, tubuh moinster itu sendiri menjadi medium arsip, tapi bukan untuk menyimpan, melainkan untuk membusuk dan berharap.

Dalam karya Furkon, penonton diajak menelusuri ingatan tentang kota, tempat, dan perasaan yang mengambang. Tubuh dan bahasa dibenturkan dengan fragmen-fragmen sejarah dan pengalaman personal. Sementara the Freakshow memecah itu lebih jauh, tidak hanya menelusuri tapi menjadi bagian dari lanskap yang dilupakan.

“Kami Tidak Diundang Sejarah, Maka Kami Berakar Di Tanah” merupakan pernyataan tentang tubuh-tubuh yang tidak pernah mendapat tempat dalam wacana besar, tapi terus hidup di pinggiran, menjalar, dan akhirnya tumbuh di tempat-tempat yang dianggap mati. The Freakshow tidak menolak sejarah, tapi memilih jalur bawah tanah, mengendap, menyerap, dan akhrinya muncul sebagai Bunga Liar yang tak bisa dilabeli.

Usai pertunjukan ketika ditemui Impessa.id, Arif Furkon menjelaskan, bahwa dalam proyek riset yang dia lakukan sebelum mengerjakan karyanya itu, banyak sekali cerita-cerita yang kemudian tidak bisa dihadirkan dalam sebuah instalasi, misalnya tentang pemindahan atau relokasi, dan pertunjukan bersama the Freakshow membuat dirinya merasa terhormat karena narasi-narasi yang tidak bisa dia masukkan kedalam karya, digemakan dan digaungkan, terutama bagaimana ketika melakukan perjalanan singkat, bagaimana ketika menenteng-nenteng barang, itu seperti sebuah arsip video ketika warga menenteng barangnya dan menaiki bus bersama-sama sampai ada yang diatas bus.

“Sebenarnya lagi-lagi tentang ingatan, bagaimana terus metode kita untuk mengingat, ketika di waduk kita mengingat makam-makam yang muncul ketika musim kemarau, tetapi lama-kelamaan makam-makam tersebut tercerai-berai, ada yang hancur dan pada akhirnya menjadi ladang pertanian. Pertanyaan yang muncul adalah terus siapa yang akan mengingat jika makam tersebut tidak ada? Siapa yang akan mengingat relokasi ribuan warga? Siapa yang akan menceritakan peristiwa penggusuran ini? Semacam mengingatkan akan rentannya ingatan kita yang sering tertambat pada penanda atau benda,” jelas Furkon.

Lebih lanjut Furkon mengatakan, “Ada teman yang memberikan informasi bahwa generasi muda kemudian banyak yang tidak tahu-menahu perihal itu dan tidak ada ikatan khusus, dikarenakan sebagian besar warga yang tergusur ditransmigrasikan ke luar Jawa, dan adanya gap generasi dan gap waktu, juga menjadi faktor tentang pelupaan itu.”.

Ketika dikonfirmasi Impessa.id tentang pilihan Waduk Gajah Mungkur,Furkon mengungkapkan, “Waduk Gajah Mungkur adalah salah satu kasus dari banyak modus-modus pembangunan bendungan, karena bendungan itu seolah-olah demi kemaslahatan masyarakat, apa iya beda dengan pembangunan hotel atau airport yang jelas terlihat komersil, sebetulnya pembangunan bendungan jarang di ekspos. Karya saya ini untuk menyeimbangkan narasi-narasi lain agar narasinya semakin komplet dengan adanya sudut pandang yang lain atas kompleksitas suatu peristiwa di masyarakat.”

Kepada Impessa.id, Babam Zita sang pemeran monster menyatakan bahwa Freakshoiw merespon instalasi Arif Furkon, hadir menjadi pengganggu, ada yang menarik yaitu saat Babam menceritakan adanya perbedaan diantara penonton performance di sesi pertama di sore hari, dengan penonton di sesi ke-dua di malam hari. “Di sesi pertama, penonton banyak yang ketakutan ketika Si Monster muncul dan mendekati mereka. Tetapi penonton yang hadir di sesi kedua, menanggapi kemunculan Si Monster itu dengan cuek, gak peduli aja, seolah itu bagian dari pertunjukan, padahal keinginan Si Monster itu ya menakut-nakuti penonton,” akunya.

Seusai pertunjukan, Ruri, pemerhati seni, kepada Impessa.id berpendapat,” Secara kreatif saya seneng banget karena ini gagasan sudah digodok lama banget, didukung sepenuhnya oleh PSBK dan Assembly 197 Tasmania, sehingga mas Furkon bisa melakukan riset, meng-caption, menangkap gambaran sejarah dari perubahan fungsi lokasi di Gajah Mungkur menjadi waduk.”.

“Mas Firkon keren banget sampai bisa meneliti bahwa air bisa memunculkan lagi narasi, memunculkan lagi ingatan-ingatan atau jejak peradaban yang pada malam hari ini dibaca bersama-sama oleh penonton yang hadir. Bagaimana 51 desa dalam waktu singkat direlokasi, apa yang terjadi pada waktu itu, semua itu adalah sejarah yang terungkap kali ini,” imbuh Ruri lebih lanjut. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)