Feature

Heroisme Maguwo, Serangan Udara TNI AU Ke Markas Penjajah Belanda, Patut Dicontoh.

Heroisme Maguwo, Serangan Udara TNI AU Ke Markas Penjajah Belanda, Patut Dicontoh.

Keberanian Penerbang TNI AU Menyerang Markas Penjajah Belanda di Semarang, Ambarawa dan Salatiga, serta Gugurnya Perintis TNI AU, menjadi dasar digelarnya Hari Bhakti TNI AU setiap tahunnya.

Impessa.id, Jogja : Kepala Staf Angkatan Udara - KSAU Marsekal TNI Yuyu Sutisna memimpin upacara peringatan Hari Bhakti TNI AU ke-71 di Lapangan Dirgantara Akademi Angkatan Udara Yogyakarta, Minggu (29/07/18).

Peringatan tersebut setiap tahun diselenggarakan, atas dua peristiwa penting yang terjadi pada tanggal 29 Juli 1947, yakni keberanian para Penerbang AU, Kadet Penerbang Mulyono, Sutarjo Sigit, dan Suharnoko Harbani, mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari penjajah. Mereka melakukan serangan udara pada pagi hari ke kubu pertahanan Belanda di Semarang, Ambarawa dan Salatiga.Serangan udara itu merupakan operasi udara pertama kali, dan menjadi cikal bakal operasi udara yang terus dikembangkan TNI AU. Kemudian, gugurnya perintis dan pendahulu TNI AU, Komodor Udara Agustinus Adisucipto dan Komodor Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, serta Opsir Muda Udara I Adisumarmo, yang sedang melakukan misi kemanusiaan, membawa obat-obatan bantuan dari Palang Merah Malaya untuk Palang Merah Indonesia.

“Tujuan peringatan Hari Bhakti TNI AU, untuk mengingat kembali perjuangan keberanian dan sikap rela berkorban para perintis AU”, ungkap Kasau pada sambutana dihadapan peserta upacara. “Untuk memperkuat karakter profesionalisme militer, menanamkan arti sebuah perjuangan mulia, tanpa memperhitungkan untung-ruginya. Inilah arti mendharmabhaktikan jiwa raga bagi Negara dan Bangsa Indonesia,” tegas Marsekal TNI Yuyu Sutisna.

Dalam pembacaan Lintasan Sejarah, disampaikan bahwa Lapangan Terbang Maguwo menjadi saksi bisu peristiwa 71 tahun silam. Selasa subuh, 29 Juli 1947 para pemuda penerbang Indonesia sibuk mempersiapkan serangan ke tangsi militer Belanda di Semarang, Salatiga dan Ambarawa. Empat pesawat direncanakan melakukan operasi udara, namun saat akan terbang, hanya tiga pesawat yang siap dipasangi bom. Hal itu dikerjakan siang malam oleh para teknisi.

Deru mesin pesawat pagi itu memecahkan lapangan Udara Maguwo. Pesawat Guntai dan dua pesawat Cureng secara beruntun terbang meninggalkan Maguwo. Pesawat Guntai dipiloti Kadet Udara 1 Mulyono, didampingi Air-Gunner Dulrahman tinggal landas terlebih dahulu. Disusul dua pesawat Cureng yang diawaki Kadet Udara 1 Sutarjo Sigit, berpasangan dengan Air-Gunner Sutarjo. Juga Kadet Udara 1 Suharnoko Harbani dengan Air-Gunner Kaput.

Kaca Cockpit pesawat dilepaskan, badan dan sayap diberi cat warna hijau militer. Sedangkan modifikasi mengutamakan pada mekanisme untuk menjatuhkan bom, yang digantungkan di kedua sayap pesawat. Bom beratnya masing masing 50 kg. Kadet Mulyono diperintah menyerang tangsi Belanda yang berada di Semarang. Menggunakan pesawat pembom tukik “driver Bomber” Guntai berkekuatan 850 daya kuda. Pesawat berkecepatan jelajah 265 km/ jam dibebani 400 kg. Dilengkapi dua senapan, disayap dan dibelakang penerbang. Berperan sebagai penembak udara, Dulrahman.

Dengan menggunakan penerangan lampu senter dibarengi kode-kode dari sesama penerbang, akhirnya pesawat berhasil diterbangkan. Ketika malam masih menyelimuti kota, bom telah dijatuhkan ke tangsi militer. Misi selesai, sesegera mungkin kembali ke pangkalan udara Maguwo dengan terbang rendah dan mendarat jam enam pagi.

Melalui peristiwa bersejarah itu, suasana perjuangan semakin bergelora di hati pemuda pejuang. Menambah semangat juang bangsa Indonesia. Bahkan menambah percaya diri pemuda waktu itu. Penyerangan tiga kota itu merupakan pernyataan eksistensi Negara Indonesia, yang saat itu tercabik oleh pengingkaran Belanda dengan hasil perjanjian Linggarjati. Dan keberadaan Militer Indonesia ternyata di takuti oleh Belanda. Terbukti dengan upaya balasan pihak Belanda untuk memperlemah militer Indonesia.

Menurut KASAU, peristiwa sejarah merupakan kejadian yang terjadi hanya sekali (enmaleg). Dan penyerangan itu hanya akan menjadi cerita, apabila  generasi penerus hanya melihat sebagai peristiwa semata. Padahal, tindakan heroisme tersebut penuh dengan pesan moral. 

“Keteladanan diwariskan melalui peristiwa penyerangan. Ada bukti keberanian, dedikasi dan cinta Tanah Air dari pemuda-pemuda Indonesia. Ini adalah keteladanan yang baik, mengenai arti keberanian dari seorang penerbang yang ingin mendarmabhaktikan dirinya. Sutarjo Sigit, Suharnoko Harbani dan Mulyono merupakan generasi emas TNI AU yang telah sepenuh jiwa raga mengharumkan nama Indonesia ke kancah dunia Internasional,” jelas KASAU.

“Semangat pengabdian yang tulus, rela berkorban dan dedikasi yang tinggi hendaknya menjadi spirit. Dan motivasi bagi seluruh prajurit TNI Angkatan Udara. Keteladanan yang patut diambil dari peristiwa penyerangan Semarang, Salatiga dan Ambarawa. Menjadi sumber inspirasi bagi segenap insan dirgantara dalam pengabdian kepada bangsa dan negara”, demikian dikatakan KASAU.

“Pada intinya, keberanian menghadapi tantangan masa depan itulah yang ditekankan. Sikap heroisme dan rela berkorban bagi bangsa dan Negara bukan hanya warisan insan Angkatan Udara, melainkan warisan nasional yang harus dirawat dan ditumbuhkembangkan”, imbuhnya lebih lanjut.

Di Yogyakarta, digelar ziarah ke Monumen Sejarah Perjuangan Ngoto (28/7), malam Sambung-Rasa di Museum Dirgantara Mandala dan Pagi harinya (29/7) Napak Tilas di sekitaran Base-Ops Lanud Adisutjipto. Diakhiri dengan Wisuda Purnawira Perwira Tinggi AU di Gedung Sabang Merauke Akademi Angkatan Udara. (Michiko/Tok).