Dyan Anggraini Gelar Pameran Tunggal, Maestro Meeting, di Jogja Gallery Alun-Alun Utara Yogyakarta, hingga 9 Januari 2022

Dyan Anggraini Gelar Pameran Tunggal, Maestro Meeting, di Jogja Gallery Alun-Alun Utara Yogyakarta, hingga 9 Januari 2022
Impessa.id, Yogyakarta: Kalau kita membincangkan seni rupa Indonesia, kita tidak bisa meninggalkan Jogja, karena Jogja tidak bisa dipungkiri, sebagai salah satu barometer seni rupa Indonesia. Jogja punya sejarahnya, Jogja punya penghuninya para perupa yang tidak pernah berhenti berkarya, mereka terus melakukan karya-karya pemikirannya dari waktu ke waktu, Jogja punya institusi pendidikan seni, khususnya seni rupa, banyak ruang-ruang yang dimiliki Jogja, baik itu milik pemerintah, milik swasta, milik para seniman yang membuka studionya untuk beraktivitas selain untuk mereka berkarya tetapi juga ada residensi, ada workshop, ada diskusi, ngobrol, dan bisa diapresiasi oleh masyarakat untuk mengenalkan karya-karya mereka. Hal itu terungkap ketika Impessa.id berbincang-bincang dengan Dyan Anggraini di sela-sela pameran berlangsung.
“Ya saya lihat Yogyakarta seperti itu, dan itu tidak bisa dipungkiri, peristiwa seni rupa yang cukup penting didalam pentas seni rupa Indonesia, seperti ada Biennale Jogja, ada ArtJog, ada Jogja Annual Art, ada banyak temen-temen yang punya ruang itu menggelar karya-karya dengan sangat konstekstual, pada saat jamannya. Jadi itu yang kemudian menyadarkan saya sejak kapan? Kalau itu ngomong Jogja sejak kapan seni rupa ini dimulai di Jogja yang modern? Terus sopo wae? Ada siapa saja disitu? Nah itu yang mengawali konsep kemudian saya memilih, menghadirkan sosok dan karyanya didalam pameran ini. Karena kita tahu orang datang ke Jogja susah mendapatkan informasi ini karena kita gak punya museum, kita gak ada museum seni rupa, kemana? Ada beberapa sosok dan karyanya, mungkin sudah tidak dikenali karena tidak pernah dibincangkan, tidak pernah dihadirkan, padahal sosok itu adalah sosok yang penting dalam sejarah perkembangan seni rupa. Ini sebagai kunci dan sudah saya sampaikan kepada Kepala Dinas Kebudayaan sebagai PR -Pekerjaan Rumah, yang sejak lama sudah diharapkan oleh para perupa bahwa Jogja perlu memiliki museum seni rupa,” ungkap Dyan terus terang.
Di pameran ini Dyan Anggraini menghadirkan sosok Jayeng Asmoro dan karyanya, yang menurutnya dikarenakan imej karyanya kadang susah dicari, tidak tahu dikoleksi oleh siapa. Oleh Dyan, sapaan akrabnya, Jayeng Asmoro itu penting dihadirkan. Ada sejarah yang menarik. Ketika Ruang PTPI -Pusat Tenaga Pelukis Indonesia petamakalinya dipakai untuk Akademi Seni Rupa Indonesia -ASRI, Jayeng Asmoro adalah salah satu penggagas berdirinya ASRI yang pada saat itu ditemani kawan-kawan perupa dari Jakarta, kemudian berlangsung konggres Kebudayaan tahun 1949 di Magelang, yang memutuskan bahwa Jogja perlu ada Akademi Seni Rupa, sehingga perlu persiapan penyelenggaraan pameran untuk menyatakan bahwa akan dibuka Akademi Seni Rupa, perlu ada contoh karya.
Alhasil Jayeng Asmoro bertindak sebagai Ketua Panitia dan Ketika ASRI terbentuk maka Jayeng Asmoro selaku Wakil Direktur, sedang Direktur ASRI pada waktu itu RJ Katamsi. Selama lima tahun Jayeng Asmoro menemani waktu itu Gedung PTPI berada didepan Bioskop Permata, dan pernah digunakan sebagai SMA Swagaya, Lima tahun kemudian berdirilah Gedung ASRI yang baru di Gampingan, lantas semua boyongan dan Jayeng Asmoro tidak ikut, memutuskan untuk mundur, namun tetap membangun relasi sehingga disetiap ada acara beliau selalu diundang dan hadir.
Menurut Dyan Anggraini, disamping menghadirkan seniman dan karyanya, penting dihadirkan para patron yang mempengaruhi perkembangan itu semua, pada kesempatan itu Dyan Anggraini menghadirkan empat sosok patron masing-masing, Sultan Hamengku Buwono VIII, Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ki Hadjar Dewantoro, Bung Karno dan Sultan Hamengku Buwono IX.
“Ini penting karena Sultan HB 8 menjadi salah satu titik yang akhirnya menghubungkan sampai ke sekarang. Pada tahun 1930-an, ketika kemudian saya memutuskan mengerucut ke seni rupa modern, bukan seni tradisi seperti wayang, patung, topeng, maka saya mencoba mengawali dari Keraton. Ketika Sultan HB 8 mengirimkan salah satu pelukis andalan Keraton ke Batavia di tahun 1930-an, yaitu RM Jayeng Asmoro, untuk belajar teknik realis selama sekitar dua tahun, sepulangnya Jayeng Asmoro mendirikan aktivitas anak-anak muda menggambar, melukis, kegiatan seni rupa dengan gagasan, pemikiran, disaat masa-masa perjuangan, Sri Warno, salah satu muridnya, kemudian dari situ, RM Jayeng Asmoro mendirikan PTPI, mengajak anak-anak muda merespon perjuangan saat itu melalui karya seni Lukis,” ujar Dyan.
“Disaat PTPI berdiri bersamaan dengan kepindahan Ibukota Republik dari Jakarta ke Yogyakarta, kepindahan Bung Karno ke Jogja juga diikuti oleh para seniman seperti, Affandi, Sujoyono, Hendra Gunawan dan Sudarso, dan pada saat itulah Sultan HB 9 memberikan ruang di jalan Pekapalan Alun-Alun Utara, tempat bagi seniman untuk beraktivitas, berkarya, bikin poster-poster perjuangan, kemudian membagi ilmu kepada yang lebih muda, sehingga Patron ini menjadi penting hadir karena rupanya saling berkait, saling ada hubungannya,” jelasnya.
“Suwardi Suryaningrat ini perlu hadir, dari sekian para seniman yang saya hadirkan, ada Jayeng Asmoro, Sujoyono, Rusli, Hendro Jasmoro, Tino Sidin, Baging Kussudiarjo, Rais Rayan, itu semua adalah anak-anak Tamansiswa. Sebagian dulu murid langsung Suwardi Suryaningrat alias Ki Hadjar Dewantoro, atau mereka belajar dari pikiran-pikiran, tulisan-tulisan Suwardi Suryaningrat untuk Pendidikan. RM Jayeng Asmoro itu sangat melekat bagaimana pengaruh Ki Hadjar itu pada dirinya, sehingga ilmu yang dia punya mesti harus dibagi. Berbagi ilmu,” aku Dyan.
Lukisan Suwardi Suryaningrat oleh Dyan Anggraini disertai kehadiran anak-anak kecil, karena Suwardi berpandangan bahwa pendidikan itu harus dimulai dari anak-anak, melalui kebudayaan, spesifiknya adalah seni budaya yang ingin meresap ke jiwa anak. Keseharian anak-anak ketika melalui pendidikan seni budaya membuat mereka mempunyai toleransi lebih tinggi, mempunyai rasa menghargai, ketika main bersama-sama mereka akan bekerja-sama, menjadi harmoni, akhirnya menjadi budi pekerti.
Dyan Anggraini juga menyertakan Bunga Akar Ilalang dalam lukisan Suwardi Suryaningrat, yang menurutnya Suwardi itu seperti Rumput Ilalang, pada masa-masa perjuangan saat itu Suwardi Suryaningrat membuat resah para penjajah, baik melalui pikiran-pikiran maupun melalui konsep pendidikannya, sehingga Dyan membayangkan sosok Suwardi bagaikan Rumput Ilalang yang juga memiliki arti manfaat sebagai obat, dan ketika bunga-bunga Ilalang terbang menjadi benih-benih menyebar ke Nusantara. Konsep pendidikan Suwardi Suryaningrat tersebar di Bumi Nusantara, menumbuhkan bibit-bibit, anak-anak bangsa yang memiliki keluhuran budi dan menjadi anak yang siap membawa negeri ini ke depan.
Dalam kesempatan itu Impessa.id meminta pendapat dari beberapa anak muda terkait pameran Maestro Meeting, diantaranya, Bondan Wisnuadi, mahasiswa Sejarah UGM, “Pameran ini merupakan perkembangan sejarah seni rupa modern yang luar biasa di Indonesia. Bu Dyan menghadirkan seniman-seniman hebat para maestro yang seolah-olah, reuni, bertemu dalam satu galeri. Bagi saya pameran ini sangat bermanfaat khususnya untuk menambah pengetahuan sejarah tentang perkembangan seni rupa di Indonesia. Pameran ini sangat bagus bagi seniman untuk muncul kembali setelah hibernasi selama pandemi,” aku Bondan. Sementara itu, Mazaya yang juga mahasiswi Sejarah UGM mengungkapkan hal senada dengan apa yang disampaikan Bondan Wisnuadi.
Sedangkan Sulthan Bil Qisthi, mahasiswa Tata Kelola Seni ISI Yogyakarta berujar, “Pameran ini bagi saya sangat menyenangkan dan edukatif, mengedukasi pengunjung tentang para maestro seni rupa modern di Indonesia yang belum pernah ada pameran seperti ini yang mengangkat lini masa seni rupa modern Indonesia. Disini Bu Dyan melukis figur sang maestro plus karyanya, sehingga pesannya tersampaikan, publik menjadi paham ternyata seperti ini perkembangan seni rupa modern di Indonesia,” ujarnya. Demikian pula halnya dengan yang dikemukakan Viola, mahasiswi Jurusan Tata Kelola Seni ISI Yogyakarta kepada Impessa.id.
Pameran “Maestro Meeting” di Jogja Gallery Jl. Pekapalan Alun-alun Utara Yogyakarta menghadirkan 41 karya (kanvas, kertas dan instalasi) sebagai drama personae dari sejarah terciptanya citra “Kota Seni” bagi Yogyakarta. Konsep menyandingkan para maestro dengan karya-karya masterpiece-nya, dari perspektif Dyan Anggraini, sebagai seorang teknokrat budaya yang bermetamorfose menjadi seniman profesional, adalah kerja visual yang luar biasa dan bersifat sublim (memuliakan).
Lukisan-lukisan potret para perupa, karya Dyan juga dapat dikatakan sebagai beyond-painter portrait yang telah menjalani pemaknaan lebih dari sekadar self-portrait yang dikerjakan sendiri oleh sang maestro. Pesan penting dalam karya-karya Dyan mematri citra luar biasa untuk generasi kini dan nanti.
Pameran yang dikuratori oleh Dr Mikke Susanto MA dan Dr Sri Margana M Phil itu menghadirkan sejarah visual yang berkehendak menggambarkan evolusi estetik seni rupa Indonesia tersebut, digelar hingga 9 Januari 2022, dapat dikunjungi setiap Selasa sampai Minggu, Pukul 10.00-18.00 WIB (Senin & Hari Libur Nasional Tutup), dengan reservasi kunjungan pada link: https://bit.ly/ReservasiDYMM. Narahubung: Febi Putri + 62 8564 3080 643. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)