Feature

Hasil Kolaborasi Budaya Indonesia-Korea Melalui Festival Gugak Indonesia 2021

Hasil Kolaborasi Budaya Indonesia-Korea Melalui Festival Gugak Indonesia 2021

Hasil Kolaborasi Budaya Indonesia-Korea Melalui Festival Gugak Indonesia 2021

Impessa.id, Yogyakarta: Festival Gugak Indonesia adalah festival internasional yang bertujuan untuk mengenalkan musik tradisional Indonesia dan Korea Selatan dalam bentuk lomba kolaborasi antara keduanya. Festival Gugak Indonesia di bawah naungan Gamelan Arirang yang berdiri sejak tahun 2015, terbentuk dengan tujuan membangun pertukaran budaya Indonesia-Korea di bidang musik tradisional. Tidak hanya aktif di Indonesia, Gamelan Arirang pernah melakukan tiga kali pertunjukan di Korea Selatan pada tahun 2016 untuk memperkenalkan kesenian tradisional. Festival ini didukung oleh Korea Foundation di bawah Kementerian Diplomat Korea Selatan untuk mengembangkan hubungan Korea Selatan dan Indonesia.

Chung Ji Tae sebagai pencetus pertama Festival Gugak Indonesia tahun 2021, menyatakan bahwa adanya festival ini untuk membangun seniman di Indonesia berkarya dan bagian dari promosi kebudayaan tradisional Indonesia dan Korea. Kesempatan bagi para musisi di Indonesia untuk mengobarkan karya kolaborasi musik tradisional melalui Festival Gugak Indonesia, sebagai wadah informasi bagi masyarakat dari kedua negara (Indonesia-Korea) untuk saling mengenal musik tradisional satu sama lain.

Berikut profil tujuh finalis Festival Gugak Indonesia 2021;

1. PEPALIT

Pada karya ini, Pepalit menyajikan karya dengan judul Liligundi yaitu tanaman hias yang memiliki manfaat sebagai mengusir nyamuk dan digunakan sebagai tanaman obat. Akan tetapi, Masyarakat Bali belum banyak yang mengetahui tentang manfaat tanaman Liligundi ini, hanya satu daerah yang mengetahui dan membudidayakan tanaman hias ini yaitu Desa Sanur, Denpasar, Bali. Rasa kekhawatiran akan populasi tanaman Liligundi, menjadi sebuah garapan atau karya musik baru yang menggabungkan beberapa bunyi-bunyian atau suara instrumen dengan pola permainan  instrumen Gamelan Bali dan salah satu pola instrumen Korea yaitu Changgo.

UKM Pepalit merupakan gabungan antara UKM Musik dengan UKM Karawitan yang ada di Universitas PGRI Mahadewa ndonesia. UKM Pepalit Mahadewa merupakan sebuah wadah bagi para mahasiswa di Universitas PGRI Mahadewa Indonesia untuk meningkatkan bakat dan minat mahasiswa dalam mengembangkan potensi dirinya di bidang seni dan juga sebagai wadah bertukar pikiran,persepsi dan perbedaan.

2. HEUREUM

Tim yang terdiri dari 4 orang yaitu Iswanto, Sri Eko Widodo, Leon Gilberto, dan Yeni Arama dipertemukan melalui jurusan Seni Karawitan di nstitut  Seni Indonesia Surakarta yang terbentuk karena adanya ketertarikan untuk mengikuti Festival Gugak Indonesia 2021, dengan tujuan mendapat pengalaman tentang musik tradisional Korea yang mana sebagian anggota sama sekali belum tahu tentangnya. Heureum  melakukan  eksplorasi  terhadap  musik  tradisional  Korea dengan musik tradisional Indonesia baik yang dari keraton maupun dari luar kraton scara melodis, ritmis dan sistem pelarasan/koleksi bunyi yang cenderung slendro (Gamelan Jawa). Dari hasil eksplorasi bunyi yang telah dilakukan, Heureum berhasil merangkai sebuah karya yang berjudul Uri Ma-eum.

3. DUA

Sebuah lagu tradisional Jeju yang berjudul Gaehwa, yang menceritakan seorang wanita penghibur bernama Gaehwa yang jatuh cinta sejak pertemuan pertama dengan tuannya dan tak disangka Si Tuan juga menaruh hati kepadanya. Kisah Gaehwa inilah yang menjadi inspirasi tim Dua untuk menulis lirik lagu dalam karya yang berjudul Gaehwa dengan pola yang terdiri dari lagu pembuka Jawa (Putri), Lagu Gaehwa (Putri 1), Lagu Jineman Jawa-(Putra) Lagu Gaehwa-Putri 2. Sesuai namannya, Tim Dua terdiri dari dua orang yaitu Gutami dan Andika yang merupakan mahasiswa di Institut Seni Indonesia Surakarta. Namun setelah dinyatakan dalam babak Final, menjadi 5 anggota tim yaitu Gutami Hayu, Andika Agustino, Udin Fazri, Windarti, dan Dimas Adiya. Secuil karya dari Tim Dua melalui Festival Gugak Indonesia sebagai proses untuk menjadi yang lebih baik.

4. NADA TUJU

Atas inisiatif beberapa pemain gamelan Bali yang memiliki rasa musik yang searah terbentuklah grup yang bernama Nada Tuju. Grup yang berasal dari Tabanan, Bali ini memiliki komposer dengan nama I Putu Suta Muliartawan dan empat orang lainnya bernama Gusti Made Wijaya Kusuma, I Putu Daniswara, I Putu Agus Wahyu Budiasa, dan I Gede Yudana. Karya-karya yang dibuat Tim Nada Tuju merupakan karya eksperimental yang menggunakan media gamelan Bali.

Pada karya kolaborasi musik tradisional Korea dan Indonesia dengan judul garapa Polytrend. Nada Tuju melakukan permainan kombinasi dengan mengambil angka-angka yang merupakan ukuran  lagu pada permainan gamelan Bali dan Korea.

Gamelan Bali umumnya memainkan komposisi-komposisi yang memang memiliki spirit gamelan Bali itu sendiri, akan tetatpi hal ni gamelan Bali dapat memainkan bentuk-bentuk yang ditawarkan oleh musik-musik Korea. Menyatukan trend yang berasal dari tempat berbeda dalam musik  dengan  mengedepankan aspek spirit dari beberapa unsur musik, utamanya angka-angka yang menjadi  trend pada kedua musik (Indonesia-Korea) tersebut berasal.

5. JEREMIA

Mengombinasikan dua budaya, Korea dengan Indonesia, ke dalam suatu karya musik tentu merupakan sebuah tantangan sendiri. Jika ditilik kedua budaya ini memang sangat berbeda dan sejujurnya akan sangat aneh jika digabungkan. Masing-masing negara punya idiom dan latar belakang sejarah yang membentuknya, termasuk dalam hal tradisi budaya.

Jeremia Saputra berasal dari ogyakarta berperan sebagai komposer dalam karyanya yang berjudul Muara (강어귀). Tentunya Jeremia Saputra tidak sendiri, Oscar Artunes dan Jeremia Komosabe Bukit turut andil dalam penciptaan karya Muara ini. Muara sendiri artinya tempat berakhirnya aliran sungai di laut, danau, atau sungai lain. Sebuah metafora bahwa sekalipun budaya Korea dengan Indonesia berbeda, pada akhirnya akan ada sebuah tempat pertemuan di mana keduanya menjadi satu bagian.

Dengan beragam sumber mata air, pada akhirnya aliran ini akan berakhir menyatu (bermuara) dengan lautan, sebuah dunia yang jauh lebih luas daripada sekadar perdebatan. Saling bertukar  pikiran dan berkolaborasi merupakan sebuah impian ideal dari sebuah perbedaan.

6. SWARA GANGSA JUNIOR

Tahun 2018 Sunarso membentuk grup Lawu Perkusi yang hingga saat ini masih aktif dan menorehkan beberapa prestasi. Kemudian tahun 2019, Sunarso mendapatkan kesempatan untuk membina Grup Mandiro Laras yang bertempat di Desa kemuning, Ngargoyoso Karanganyar.  Tahun ini dalam festival Gugak 2021, Sunarso mencoba mengkolaborasikan keduanya dalam Grup bernama Swara Gangsa Junior.

Ngracik yang berarti meracik, sebuah karya yang disajikan Swara Gangsa Junior diidentifikasikan sebagai pencapuran antara dua musik yang berbeda  menjadi  satu  kesatuan  yang  harmonis,  yakni  antara  musik tradisional Korea Selatan yang dimainkan dengan seperangkat Samulnori beserta  alat  tiup  Daegum dan musik tradisional Jawa yang dimainkan melalui Gamelan. Dinamika samulnori yang terbilang cepat bersatu dengan rasa dari gamelan yang lembut serta daegum yang khas akan menghasilkan rasa musik yang baru. Karya komposisi Ngracik digambarkan pada suasana kebahagiaan yang hakiki setelah mengalami  perpadua rasa seni yang berbeda.

7. TANAH MALAI

Tanah Malai terbentuk sejak satu tahun yang lalu. Dengan jumlah anggota 5 orang, terdiri dari 3 orang dari Kalimantan dan 2 orang dari Sumatera. Fokus Tanah Malai adalah berangkat dari kesenian Tradisional dan Kebudayaan Kalimantan Tengah. Kami memiliki tujuan melestarikan kebudayaan Indonesia serta kebudayaan Asing yang ada di Indonesia melalui bidang karya seni baik seni musik ataupun seni tari.

“Tanah Malai Tolung Lingu” memiliki arti “Tanah Keramat dan Tanah Suci” suku Dayak Ot Siang di Kalimantan Tengah. Suasana musik awal adalah penggambaran terhadap kebudayaan suku Dayak di Kalimantan Tengah, suku dayak sangat mempercayai bahwa musik memiliki  Roh  serta  ketika  kita memainkan musik  tradisional maka Roh  nenek  Moyang turut serta hadir memainkan.  Sedangkan pertengahan sampai akhir musik adalah penggambaran antara musik Korea dan musik Kalimantan. Penggabungan antara dua kebudayaan musik ang berbeda yaitu Korea dan Kalimantan ini kami sajikan dalam bentuk Ritmis dan Vokal yang baru digarap dan belum pernah ada sebelumnya.

Final Festival Gugak Indonesia diadakan secara online pada hari Sabtu, 25 September 2021 pukul 20.00 WIB melalui platform YouTube Festival Gugak Indonesia dan mengundang 1470 penonton.

Adapun finalis yang tampil pada acara Final Festival Gugak Indonesia 2021 adalah Pepalit dari Bali, Nada Tuju dari Bali, Dua dari Madiun, Jeremia dari Yogyakarta, Swara Gangsa Junior dari Karanganyar, Heureum Bengawan dari Solo, dan Tanah Malai dari Kalimantan Tengah. Para Finalis langsung datang ke Yogyakarta dan melakukan rekaman penampilan karya mereka untuk ditayangkan saat Live Final.

Penentuan pemenang dari tujuh finali sesuai dengan penilaian dari Tim Juri masing-masing, Lee Yoon Sun, Ph.D dari Korea (Cultural Heritage Administration),  Prof. Victor Ganap dari Indonesia (Professor ISI Yogyakarta), Nyak Ina Raesuki, Ph.D (Director Graduate School Jakarta Institute Of The Arts), Zachary Hejny, Ph.D (Universitas Of California, Santa Cruz), serta Chung  Ji Tae Ph.D (Director Of Gamelang Arirang).

Penayangan Final Festival Gugak Indonesia bersamaan dengan pengumuman tiga pemenang yaitu, Juara 1: Heureum Bengawan, Juara 2: Dua dan Juara 3: Tanah Malai.

Festival Gugak Indonesia 2021 bukanlah yang terakhir, selanjutnya akan menampilkan karya-karya hebat dan tentunya selalu spektakuler. Informasi detail dapat diakses via Email: gugak.indonesia@gmail.com, Instagram: @gugakfestival.id, Facebook: Festival Gugak Indonesia, YouTube Channel: Festival Gugak Indonesia. (Samara/Antok Wesman-Impessa.id)