WILLIAM ROBERT Gelar Pameran Tunggal TIANG HORISONTAL Di Bentara Budaya Yogyakarta, 23 April hingga 3 Mei 2025

WILLIAM ROBERT gelar pameran tunggal bertema TIANG HORISONTAL di Bentara Budaya Yogyakarta, 23 April hingga 3 Mei 2025 (Foto: Istimewa)
Impessa.id, Yogyakarta: Perupa William Robert menggelar pameran tunggalnya yang ke-19 di Bentara Budaya Yogyakarta pada 23 April hingga 3 Mei 2025. Pameran Tunggal William Robert tersebut menampilkan delapan karya bertajuk TIANG HORISONTAL, perenungan sederhana bahwa kata tiang itu selalu dihubungkan dengan hal yang bersifat vertikal. dan tak ada yang menempatkannya disandingkan dengan kata horizontal.
“Kata vertikal biasanya dimaknai secara atas kebawah, bawah keatas. Tiang vertikal dapat dipahami mungkin secara dasar, adalah tiang pancang, yang merupakan fondasi awal untuk membangun sesuatu secara fisik. Disisi lain hal yang sifatnya spiritual seperti hubungan kita dengan Sang Khalik, Tuhan Yang Maha Kasih, seringkali diistilahkan sebagai hubungan vertikal, atau sebagai tiang vertikal. Sedangkan hubungan sesama manusia dan seluruh ciptaan Tuhan, sebagai “Tiang Horisontal”, seperti judul pameran ini,” ungkap William Robert.
Pameran tunggal William Robert di Bentara Budaya Yogyakarta adalah untuk kedua kalianya, dimana sebelumnya perupa yang sudah berkarir selama 36 tahun telah menggelar karyanya di Balai Soedjatmoko, Bentara Budaya Solo dalam pameran tunggal bertajuk “Reka Muka”.
Narasi “Tiang Horisontal” dilatar belakangi oleh pengalaman empirik yang dialami perupa. Sejak dulu ia sering berpergian ke banyak tempat untuk mengembangkan atau mengenal banyak hal mengenai seni rupa di berbagai kota yang memiliki kantong seni rupa. Ia mulai mengenal Ubud pada tahun 1990, dimana sebelumnya ia juga tinggal di Bandung. Meskipun tahun 80-an ia pernah melihat kota Yogyakarta, namun ia mulai ikut beberapa kegiatan di Jogja sekitar tahun 1996.
Di kota budaya yang banyak melahirkan seniman besar, ia mulai ikut FKY dan berpameran tunggal untuk pertama kalinya di Gono Art Studio, Jago Joglo, tahun 1999. Pengalaman berharga itu berkat jasa dua seniman yang bagi Willam sungguh istimewa. Keduanya yakni Godod Sutejo dan Sudargono, yang kini telah tiada.
Dalam pameran “Tiang Horisontal” di BBY, secara khusus William Robert mengekspresikan terima kasihnya kepada kedua orang itu yang paling berperan dalam perjalanan awal karirnya, hingga ia bisa sampai pada titik dimana ia telah menggelar atau terlibat dalam berbagai perhelatan seni rupa di dalam negeri hingga manca negara.
Cerita-cerita pengalaman hidup yang begitu berwarna, sarat dengan pengalaman empirik baginya, karena merasa diterima dibanyak tempat, kemanapun ia pergi, senantiasa dianggap saudara, diwongke, dibantu dalam banyak hal bahkan kemudahan tanpa syarat. William merasakan kasih dimana-mana, membuat ia dapat terus bertumbuh, belajar hidup dan terus mencoba meraih pencapaian yang berarti.
Begitupun ketika dirinya pulang kampung ke Maluku, ia memahami sejarah dan cerita tentang kerukunan di Maluku. Beragam bangsa datang ke gugusan pulau yang kesohor sebagai penghasil rempah-rempah terbaik dunia, juga banyaknya pendatang dari berbagai suku di Nusantara, yang hidup turun-temurun, kawin campur-asimilasi dan sebagainya. Kerukunan indah ratusan tahun itupun pernah diganggu oleh para perusuh dari luar yang ingin merusak Tiang Horisontal dengan isu pecah-belah, ia merasa sedih. Hingga Semangat Pela Gandong, rasa kasih dan persaudaraan yang terpatri sejak dulu, mengembalikan lagi perdamaian, kerukunan cinta kasih antar-sesama masyarakat Maluku yang majemuk.
Saat Covid-19 melanda dunia, perupa yang juga hobi bermain musik melihat kenyataan bahwa “Tiang Horisontal” benar-benar diuji dan memang telah teruji. Selama pandemi berlangsung, kepedulian antar-sesama manusia di seluruh dunia begitu terasa. Begitu luar biasa, dengan banyak cara, saling mengingatkan bahayanya virus mematikan itu. Diberbagai negara, di banyak tempat orang-orang mendistribusikan bantuan, menyampaikan doa, pesan-pesan kemanusiaan untuk saling peduli sehingga wabah berakhir. Tiang Horisontal kokoh menopang dalam melanjutkan kehidupan dengan istilah New Normal.
Dalam pengantarnya Ilham Khoiri, General Manager Bentara Budaya menggaris bawahi bahwa banyak pelukis Indonesia yang memilih menekuni aliran abstrak. Salah satunya William Robert, seniman keturunan Ambon, Maluku yang kini bermukim di Jakarta. Lewat pendekatan visual abstrak, William mengajak merenungi hal-hal sederhana namun mendalam.
“Lihatlah lukisan yang berjudul ‘Tiang Horisontal’, karya ini cukup besar, memanjang kiri ke kanan 250 x 600 cm. Bagian kanan berupa bidang blok besar warna hitam keabu-abuan. Bagian kiri dipenuhi bidang-bidang kecil warna-warni cerah. Pada bagian tengah, terdapat blok kotak memanjang horizontal yang menghubungkan bagian kanan dan kiri. Melihat lukisan ini kita seperti digirng untuk memikirkan sesuatu yang asalnya berjarak, kemudian terhubung oleh semacam keadaan tertentu. Bidang-bidang kecil warna-warni bisa mewakili citra manusia yang beragam. Blok kotak memanjang, mirip tiang yang rebahan (horisontal), itu semacam penghubung yang mempertautkan antar manusia yang beragam,” ujar Ilham Khoiri.
(“TIANG HORISONTAL “, 250 x 600 cm, media campuran diatas kanvas)
Sementara itu kurator pameran Prof. Dwi Marianto, MFA, Ph.D, menyebutkan beberapa poin yang bisa dicermati. Salah satunya adalah bahwa karya-karya lukis William Robert selalu mengait pada adat-istiadat masyarakat adat di Tanah Maluku yang telah hidup dan mentradisi selama berabad-abad; berbagai komunitas dan kelompok etnis yang berbeda, setia pada system kekerabatan itu; caranya dalah menghidupi kesadaran untuk saling mengangkat dan memerlukan negeri lain dan warganya sebagai saudara atau sesama. Pela Gandong adalah bendera dengan apa negeri yang ada di Maluku untuk saling menjaga, keberlajutan relasi persaudaraan antar negeri (komunitas)
“Realisasi artistik atas ide-ide itupun beragam. Namun biasanya sang subjek memilih cara yang paling dikuasai, yang dengan apa ia dapat mengaktualisasikan dirinya secara optimal. Dengan seni abstrak, yang menggunakan pendekatan non representasional, non figuratif atau non objektif. William Robert mengabtraksikan berbagai refleksi dan pengalaman yang berbeda,” tutur Prof Dwi Marianto.
(“CATATAN TANAH MANISE“ , 150 x 380 cm, media campuran diatas kanvas)
(INFINITY, 140 x440 cm, Media campuran diatas kanvas).
Disisi lain dalam tulisannya AA Nurjaman menilai bahwa lukisan abstrak William Robert berpijak pada pengalaman-pengalamannya yang tersimpan di alam bawah sadarnya. Itulah kekayaan realitas yang maknanya begitu tersembunyi, sehingga tidak bisa dijelaskan secara ‘real’, melainkan hanya bisa dilukiskan untuk kemudian dipahami.
“Karya-karya abstrak William Robert dimaksudkan untuk mengungkapkan kembali sesuatu yang tersembunyi, memperjelas sesuatu yang tidak terartikulasikan, sehingga dalam pengungkapan ia tidak memilih metafora-metafora dalam bentuk figure atau objek realistik, sebab yang diungkapkan justru ‘kedalaman ras’ yang hanya bisa diungkapkan melalui simbol berupa bidang, garis dan warna,” jelas AA Nurjaman.
(“MENGUAT DI TENGAH “ 200 x 300 cm. Media campuran diatas kanvas)
Selama pameran yang berlangsung sepuluh hari, terbuka dialog antara sang perupa dengan para apresiator, membuka dan mencoba untuk lebih memahami seluasnya cakrawala buah pikiran, ide, gagasan, narasi dan apapun yang bisa dibaca dari pameran. Meskipun karya-karya yang ditampilkan adalah multi tafsir bagi siapa saja. Namun bagi William Robert sendiri pameran tersebut, merupakan perayaan rasa syukur akan masih terjaganya Tiang Horisontal dalam kehidupan, masa lalu, hari ini, dan semoga terjaga hingga masa datang, bahkan selamanya. (Feature of Impessa.id by BOSEN2020-bejana art lab-William Robert-Antok Wesman)