Event

Pameran Drawing Danyang-Danyang Bengawan Solo, Di BBY, 14-22 September 2019

Pameran Drawing Danyang-Danyang Bengawan Solo, Di BBY, 14-22 September 2019

Pameran Drawing Danyang-Danyang Bengawan Solo, Di BBY, 14-22 September 2019

Impessa.id, Yogyakarta : Lima belas perupa secara bersama-sama memajang karya mereka dalam Pameran Drawing bertajuk “Bengawan Sore: Danyang-Dayang Bengawan Solo” di Bentara Budaya Yogyakarta Jalan Suroto Nomor 2 Kotabaru, pada 14-22 September 2019, terbuka untuk publik secara gratis. Perupa yang terlibat masing-masing, Aliem Bachtiar, B. Gunawan, Bambang Herras, Bambang Pramudyanto, Budi Ubrux, Edi Sunaryo, Fajar Sungging, Felix S. Wanto, Harindarvati, Hermanu, Bartimeus Yayan “Meuz”, Ismail “Sukribo”, Reza PratiSca Hasibuan, Sri Pramono, dan Yuswantoro Adi.

Kurator pameran Hermanu menuturkan, Bengawan Solo sudah ada sejak zaman purba, aliran sungai terpanjang di Jawa tersebut telah beberapa kali mengalami perubahan. Awalnya, muaranya berada di Pantai Selatan Jawa di daerah Wonogiri, namun pelan-pelan lempeng Australia mendesak lempeng Astro-Asia, sehingga bagian selatan Pulau Jawa terangkat, hal ini mengakibatkan muara Sungai Bengawan ini berbalik mengarah ke utara dan sekarang muaranya berada di daerah Gresik, Jawa Timur.

Sungai itu menginspirasi para seniman untuk menciptakan karya seni, seperti lagu “Bengawan Solo” ciptaan Gesang dari Surakarta, seni pertunjukan ketoprak dengan lakon “Jaka Tingkir”, serta lukisan pemandangan yang dibuat para perupa sejak zaman Belanda sampai sekarang. Pada zaman Hindia Belanda, tepian sungai purba ini di daerah Sragen dan Ngawi terutama di Sangiran dan Trinil diketemukan fosil-fosil manusia dan binatang purba seperti pithecanthropus erectus yang terkenal diketemukan oleh Du Bois, sarjana Eropa.

Raden Adipati Arya Reksa Kusuma seorang Regent atau Bupati dari Bojanegara Jawa Timur, tahun 1916 menulis sebuah buku dalam tulisan Jawa mengenai riwayat Bengawan Solo yang berada di dalam wilayah Kabupaten Bojanegara. Dimulai dari daerah sekitar Ngawi ke Utara sampai Cepu terus ke Timur sampai daerah Lamongan dan Gresik.

Sekedar pengetahuan, nama Bojonegoro belum ada di masa pemerintahan Mataram maupun VOC. Kala itu  namanya adalah Kabupaten Jipang. Nama Bojanegara muncul setelah Raffles sebagai Gubernur Jendral Inggris tahun 1811 membagi Pulau Jawa dalam beberapa karesidenan dan dipakai terus oleh Pemerintah Hindia Belanda. Bojanegara akhirnya diubah menjadi Bojonegoro sampai sekarang. Dahulu, Karesidenan Bojonegoro meliputi Kabupaten Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan.

Dalam buku tersebut diterangkan mengenai tempat-tempat yang mempunyai sejarah dan riwayat seperti Punden, Petilasan, dan tempat yang diyakini ada penunggunya, seperti tempat bernama Bengawan Pasar Sore. Di masa lalu tempat itu merupakan keraton dari Adipati Jipang atau yang lebih terkenal dengan nama Arya Penangsang. Di tepi Bengawan itulah terjadi pertempuran antara Arya Penangsang melawan Sutawijaya dari Pajang. Dengan kematian Arya Penangsang beserta kudanya yang terkenal, Gagak Rimang, sejak saat itu tempat itu dianggap angker oleh masyarakat setempat.

Di samping itu, diterangkan juga tempat-tempat mistis lainnya di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo sekitar Ngawi sampai daerah Lamongan dan Gresik. Cerita danyang-danyang Bengawan Solo, lainnya antara lain: Kerek, Kedhung Maya, Kedhung Werpitu, Kedhung Waleyan, Kedhung Srungga, Gua Sentana, Blacak Ngilo, Bengawan Pasar Sore, Tinggang, Pundhen Tulung, dan Buyut Kencana.

“Dari tempat-tempat tersebut, teman-teman perupa Yogyakarta meresponnya dalam bentuk karya drawing yang kami pamerkan sekarang ini. Bengawan Sore, kami jadikan judul pameran, untuk menggambarkan tentang Sungai Bengawan Solo di waktu sore atau candik ala,” ujar Hermanu.

Menurutnya, sore hari merupakan saat yang gawat menurut masyarakat Jawa Kuno, para danyang-danyang penghuni bantaran Sungai Bengawan Solo akan keluar dari persembunyiannya dan mengganggu para manusia yang berani melawan larangannya. Semoga pameran drawing Bengawan Sore ini dapat menambah pengetahuan tentang sungai dan mitos mitos di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo. (M.Wuryani/Antok Wesman)