Event

Mahasiswa Jogja Unjuk Aspirasi Save KPK, Tolak Revisi UU KPK Oleh DPR RI

Mahasiswa Jogja Unjuk Aspirasi Save KPK, Tolak Revisi UU KPK Oleh DPR RI

Mahasiswa Jogja Unjuk Aspirasi Save KPK, Tolak Revisi UU KPK Oleh DPR RI

Impessa.id, Yogyakarta : “Yang ingin kami sampaikan ke publik yakni, jika Revisi Undang Undang KPK yang diajukan DPR RI itu disepakati atau disetujui, itu bakal melemahkan fungsi KPK. Ketika KPK sudah dilemahkan fungsinya, apa kabar demokrasi kita? Bagaimana nanti penindakan korupsi di negara kita kalau Komisi Pemberantasan Korupsi sudah dilemahkan?” ungkap Rafki, mahasiswa UAD Yogyakarta, kepada Impessa.id, usai berlangsungnya Unjuk Aspirasi Forum Mahasiswa Yogyakarta, menolak munculnya Revisi Undang Undang KPK yang diajukan DPR RI di Kawasan Kilometer Nol Kota Yogyakarta, Kamis sore (12/9/2019).

Terhitung sejak 5 September 2019 Dewan Perwakilan Rakyat RI menyetujui usulan dilakukannya revisi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Rapat Paripurna DPR RI. Munculnya keputusan untuk dilakukannya Revisi atas Undang-Undang KPK oleh DPR ini menuai kritik ditengah masyarakat. Pasalnya, aturan yang termuat dalam Rancangan Revisi Undang-Undang KPK justru dinilai tidak mewakili semangat menguatkan KPK sebagai Lembaga penegak hukum dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Didalam revisi UU KPK usulan DPR tersebut, terdapat 21 poin yang diprediksi melemahkan kinerja KPK sebagai Lembaga Independen Anti Korupsi di Indonesia. Diantaranya, KPK bukan lagi Lembaga Negara Independen tetapi menjadi Lembaga Pemerintah atau Lembaga Eksekutif. Kemudian KPK perlu minta izin kepada Dewan Pengawas KPK (yang dibentuk atas usulan Presiden dan disahkan DPR RI) dalam melakukan penyadapan, penyitaan maupun penggeledahan. Penyadapan haya dapat dilakukan pada tahap penyidikan, padahal peraturan sebelumnya memberikan Hak KPK untuk melakukan penyadapan, pada tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.  

Perjuangan menolak Revisi UU KPK itu bukanlah upaya yang mulus dan mudah untuk menyelesaikan korupsi di Indonesia. KPK terbatas hanya sampai pada tahapan memenjarakan koruptor. “Ya, gerakan anti korupsi harus terus meluas, artinya seluruh elemen di masyarakat harus bersatu menolak revisi UU KPK tersebut, kami optimis, sejak tahun 2010, 2012, 2014 dan 2016, upaya revisi terus menerus digulirkan oleh DPR setiap dua tahunnya, namun tidak pernah berhasil, semoga aksi revisi UU KPK oleh DPR RI kali ini kembali gagal” imbuh Rafki.

Gerakan Anti Korupsi Yogyakarta, melalui rilis yang diterima Impessa.id menuliskan, terhitung sejak 5 September 2019 Dewan Perwakilan Rakyat RI menyetujui usulan dilakukannya revisi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Rapat Paripurna DPR RI. Munculnya keputusan untuk dilakukannya Revisi atas Undang-Undang KPK oleh DPR ini menuai kritik ditengah masyarakat. Pasalnya, aturan yang termuat dalam Rancangan Revisi Undang-Undang KPK justru dinilai tidak mewakili semangat menguatkan KPK sebagai Lembaga penegak hukum dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Dalam Rancangan Revisi UU KPK tersebut, terdapat beberapa hal serta poin pengaturan yang kontroversial dan mengingkari spirit penguatan KPK, serta penegakan hukum tindak pidana korupsi dalam Rancangan RUU KPK.

Pertama, proses penyusunan Rancangan UU KPK yang mengingkari aturan yang ada. Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, dinyatakan bahwa pada intinya pembahasan sebuah RUU harus berdasarkan program legislasi Nasional. Padahal, RUU KPK ini tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2019. Maka, dengan ini terjadi pelanggaran formil dalam pembahasan Revisi UU KPK ini.

Kedua, mengenai independensi KPK sebagai Lembaga penegak hukum tindak pidana Korupsi di Indonesia (misal pada Pasal 1 angka 3, Pasal 1 angka 7, Pasal 24 ayat (2) dan (3)). Dalam beberapa aturan tersebut terdapat aturan mengenai bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Pemerintah Pusat yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan itu bertentangan dengan Putusan MK No. 012-016- 019/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa KPK adalah lembaga negara yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman. Ketentuan itu juga bertentangan dengan Pasal 38 UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Maka, tidaklah tepat menggolongkan KPK sebagai lembaga yang berwenang melaksanakan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagai Lembaga eksekutif.

Ketiga, dalam hal melakukan penyadapan yang merupakan kekuatan yang diberikan hukum kepada KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi (misal pada pasal 12A, 12 B, 12C, 12D, 12E, 37A, 37B, 37C, 37D, 37E, 37F, 37G dan 69A). Pengaturan itu tidak menguatkan sistem penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi pasalnya dalam hal melakukan penyadapan, KPK harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari Dewan Pengawas. Sedangkan, Dewan Pengawas diangkat oleh Presiden Republik Indonesia, hal itu akan menimbulkan conflict of interest dalam pelaksanaan penyadapan yang dilakukan KPK. Sehingga efektifitas pemberantasan korupsi akan terganggu.

Keempat, KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan (Pasal 40). KPK dalam hal menetapkan suatu kasus penyidikan telah melalui proses yang sangat hati-hati dan prosedural karena tidak adanya penghentian penyidikan dan penuntutan. Melalui ketentuan tersebut akan terjadi degradasi kualitas KPK dalam penanganan suatu kasus. Pengaturan mengenai penghentian penyidikan dan penuntutan yang belum selesai selama 1 (satu) tahun akan menimbulkan potensi intervensi kasus menjadi mudah terjadi. Terlebih pada kasus yang besar serta menyangkut internasional proses penanganan akan sangat sulit menyelesaikan selama satu tahun. Selain itu, berpotensi juga dilakukan penghambatan kasus secara administrasi sehingga lebih dari 1 (satu) tahun. Tingkat kesulitan penanganan perkara dari satu perkara ke perkara lain bermacam-macam, sehingga mungkin saja ada perkara yang amat rumit sehingga membutuhkan waktu lebih dari satu tahun untuk menanganinya.

Selain itu, tidak pernah ada aturan dalam sistem hukum acara pidana nasional yang mengatur bahwa suatu penyidikan/penuntutan harus dihentikan jika selama jangka waktu tertentu proses penyidikan/penuntutannya belum selesai, Maka, pengaturan itu adalah aturan yang sama sekali tidak mendukung pelaksanaan tugas penegakan hukum KPK.

Beberapa Poin tersebut faktanya telah menimbulkan keresahan di masyarakat serta kekhawatiran bahwa proses penegakan hukum tindak pidana korupsi bakal terancam. Masih banyak aturan dalam rancangan Revisi Undang-Undang KPK yang bermasalah, terkhusus kepada substansi pengaturan yang justru sama sekali tidak mencerminkan semangat penguatan KPK dan penguatan sistem hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.

Solusi hukumnya berupa dikeluarkannya Surat Presiden yang memuat ketentuan penolakan terhadap Revisi UU KPK yang diajukan oleh DPR.

Untuk itu, “Gerakan Anti Korupsi Yogyakarta" menyampaikan pernyataan sikap Menolak dengan tegas Rancangan Revisi Undang-Undang KPK secara keseluruhan. Mendesak Presiden RI untuk bersikap tegas menolak Rancangan Revisi Undang-Undang KPK yang diusulkan oleh DPR. Mendesak DPR RI untuk membatalkan rencana pembahasan Rancangan Revisi Undang-Undang KPK. Menuntut Presiden RI untuk menepati janji dalam rangka melakukan penguatan KPK untuk mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Menghimbau kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia untuk; Mengawal pelaksanaan tugas Pemerintah dan DPR terutama untuk memastikan bahwa rencana revisi Undang-undang KPK dibatalkan, serta Mengawal penegakan hukum tindak pidana korupsi, sebagai ikhtiar mewujudkan Indonesia yang bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Unjuk Aspirasi mahasiswa Yogyakarta di kawasan Nol Kilometer Kamis Sore, mendapat pengawalan ketat aparat kepolisian agar lalulintas tetap berjalan lancar, dan menarik perhatian khalayak yang berada di lokasi ikonik khas Jogja tersebut, melibatkan ratusan mahasiswa gabungan dari 42 Badan Eksekutif Mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, INTY, Instiper, SSG, dan Universitas Proklamasi 45. (Antok Wesman)