Feature

Masjid Jogokariyan Yogyakarta Peduli Pemberdayaan Ekonomi Warga Kampoeng

Masjid Jogokariyan Yogyakarta Peduli Pemberdayaan Ekonomi Warga Kampoeng

Masjid Jogokariyan Yogyakarta Peduli Pemberdayaan Ekonomi Warga Kampoeng

Impessa.id, Yogyakarta : Masih ada kesempatan bagi warga masyarakat yang ingin merasakan sensasi Bukber Di Masjid Jogokariyan Yogyakarta, untuk Jum’at petang, tanggal 31 Mei 2019 dengan menu berupa Sup Rolade Sosis, olahan Kelompok Dasawisma RT 45. Kemudian untuk Sabtu tanggal 1 Juni menunya berupa Cok Genem masakan ibu-ibu Kelompok Dasawisma RT 47. Untuk Bukber di hari Ahad, tanggal 2 Juni, menunya berupa Bakmoi, masakan ibu-ibu Kelompok Dasawisma RT 44, dan untuk Bukber di hari terakhir, Senin, tanggal 3 Juni 2019 menyuguhkan menu dari pengurus Takmir Masjid.

Sejak hari pertama Bukber di Masjid Jogokariyan Yogyakarta, animo masyarakat sangat tinggi hingga 3000 porsi yang tersaji ludes semuanya bahkan di beberapa hari, pihak Takmir Masjid mengeluarkan seluruh piring koleksinya yang jumlahnya 3400 buah untuk memenuhi tingginya hasrat masyarakat ikut Bukber tersebut. Ragam kuliner Nusantara yang dimasak secara bergilir oleh 27 Ibu-ibu Kelompok Dasawisma se Kampoeng Jogokariyan diantaranya, Tongseng Ayam, Soto Gentong, Gulai Ayam, Galantin, Opor, Bestik, Rawon, Cok Genem, Semur Ayam, Garang Asem Daging, Gulai Sapi, Sop Ayam Klaten, Tongseng Daging dan Sop Kembang Waru.  

Totok dan temannya dari Galur, Kulon Progo, kepada Impessa.id menuturkan ketertarikannya Bukber di Masjid Jogokariyan. “Baru pertama kali ini sih bukber disini, awalnya iseng saja ingin lihat suasana di Kampoeng Ramadan Jogokariyan, denger dari pengeras suara bagi pengunjung yang baru datang dipersilahkan untuk mengambil hidangan bukber lalu mencari tempat yang nyaman karena lima menit lagi sudah tiba saat berbuka puasa, segera kami ikut ambil dan gabung dengan warga lainnya duduk di tikar panjang yang digelar di sepanjang jalanan,” ujarnya.

Begitu banyaknya yang datang maka pihak panitia mengumumkan bahwa usai Bukber, sholat Maghrib dilakukan dalam beberapa ‘kloter’ mengingat semua pengunjung ingin sholat berjamaah di masjid yang begitu populer dengan kemakmurannya itu, sebagaimana yang dikemukakan Ustadz M Jazir kepada Impessa.id bahwa tingginya minat masyarakat bukber di Masjid Jogokariyan menunjukkan adanya kebangkitan Islam di kalangan anak-anak muda, sekaligus menunjukkan makmurnya masjid yang sepenuhnya didukung seluruh warga Kampoeng Jogokariyan Yogyakarta. 

Dalam acara BNI Syariah Gelar Program Goes To Jogokariyan Dukung Pemberdayaan Ekonomi Umat melalui Masjid pada 2 Maret 2019, M. Jazir menuturkan, sebaik-baik tempat adalah masjid dan seburuk-buruk tempat adalah pasar, artinya bahwa di dunia ini ada dua peradaban, yaitu peradaban yang beralaskan masjid dan peradaban yang beralaskan pasar. Peradaban yang beralaskan Masjid itu akan menjadi peradaban yang baik, hal itu telah dibuktikan sejak masa Rasulullah Muhammad SAW hingga tujuh abad kedepannya yang mana peradaban masjid merubah dunia dalam kecahayaan, dalam kegemilangan.

“Jadi kalau masyarakat tumbuh dari masjid, dia akan menjadi wasit, memimpin dunia ini dengan baik, menjadi rahmatan untuk alam-semesta. Nabi Ibrahim a.s. membangun masjidil Haram, Ka’bah, dibantu putranya Nabi Ismail AS. dan Nabi Ibrahim  AS. menjadi pemimpin manusia setelah berhasil membina masjid. Demikian halnya Nabi Daud AS bersama anaknya Nabi Sulaiman AS. berhasil menjadi Raja Yahudi terbesar setelah membangun Masjid Al Aqsa. Begitu pula Nabi Muhammad SAW yang menjadikan masyarakat Yasrib menjadi cahaya dunia melalui Masjid Madinah Al Munawarah,” jelas M. Jazir. 

Menurut M. Jazir, tempat-tempat peradaban yang paling terang-benderang adalah masjid, itu tampak di masjid Nabawi Madinah dan di Makkah al Mukaramah, demikian halnya pusat peradaban di Nusantara dijaman Raja-Raja Islam, semua pusat peradabannya berada di masjid-masjid, yang kemudian satu-persatu dipadamkan oleh penjajah, sehingga yang tampak sekarang di Indonesia, pusat-pusat perbelanjaan tampak lebih terang hal itu menunjukkan bahwa peradaban di Indonesia sekarang sudah dikuasai oleh penguasa pasar.

Strategi penguasa pasar untuk memadamkan cahaya-cahaya masjid, dimulai pada tahun 1903 dalam Staatblad nomor 26 yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Belanda yang berkuasa pada waktu itu, isi Hukum Kolonial itu, pertama, para Sultan dan Raja-Raja serta Bangsawan, tidak boleh pergi Haji. Kedua, harus mencantumkan gelar haji didepan nama bagi semua orang yang pulang dari Tanah Suci, agar mudah dipantau gerak-geriknya. Ketiga, Masjid tidak boleh lagi menjadi pusat kegiatan masyarakat, namun hanya untuk tempat sholat dan peringatan Hari Besar Islam saja. “Makanya kalau hari kini masih ada masjid pintunya dibuka menjelang azan dan kemudian dikunci lagi setelah sholat selesai, itu takmirnya masih mengikuti hukum kolonial Belanda tahun 1903, belum merdeka, masih taat pada aturan Belanda,” jelas M. Jazir. 

Menyitir perihal ekonomi nasional yang ditulis Bung Hatta ditahun 1931, Bapak Pendiri Bangsa, menyebutkan bahwa Ekonomi kolonial adalah ekonomi yang berbasis renten, berbasis riba, sedangkan ekonomi nasional yang kita rindukan itu adalah ekonomi yang bebas riba. M. Jazir menjelaskan, di zaman Rasulullah, disebelah masjid didirikan bangunan megah pusat perekonomian syariah yang berhasil meningkatkan kemakmuran ummat. Saat Cina menguasai perekonomian dunia dan membanjiri kain Sutera ke Tanah Arab sehingga banyak orang mengenakan kain Sutera, maka Nabi mencontohkan dengan memakai kain katun buatan Yaman, karena Sutera diharamkan bagi pria, sehingga semua orang berpaling ke kain Katun dari Yaman yang membuat perajin tenun dan petani Kapas di Yaman hidup sejahtera. Begitu halnya ketika Yahudi menguasai dunia kuliner, maka sahabat-sahabat Nabi menggencarkan untuk menyantap produk kuliner olahan ummat muslim yang dijamin halal dan sehat.

Secara nyata Masjid Jogokariyan telah mampu memberdayakan ekonomi warga sekitar, salah satunya tumbuhnya usaha perajin peci khas Jogokariyan yang sudah ekspor ke Malaysia dan memiliki 11 penjahit warga lokal. “Masjid itu punya dampak ekonomi, 950-ribu masjid dan lebih dari satu juta mushola di Indonesia itu membutuhkan banyak hal sampai ke instrument peralatan elektronik, kalau semua itu disuplai dari kalangan sendiri kan dampak ekonomi-nya luar biasa,” pungkas M. Jazir. Di Masjid Jogokaryan Yogyakarta yang di tahun 2014 pernah dikunjungi 14 anggota Parlemen Uni Eropa, mungkin satu-satunya Takmir Masjid yang ada di Yogyakarta yang berani memasang tulisan berbunyi : Jika sandal, sepatu anda hilang, maka kami bertanggungjawab! (Antok Wesman)