Dubes RI Untuk Turki, Dr. Lalu Muhammad Iqbal, Pidato Di Milad Ke-38 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Dubes RI Untuk Turki, Dr. Lalu Muhammad Iqbal, Bersama Rektor UMY, Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, MP, Di Milad Ke-38 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Kamis (28/03/19).
Impessa.id, Yogyakarta : Dalam Laporan Tahunan Rektor dan Pidato Milad ke-38 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta –UMY, yang belangsung di Ruang Sidang AR Fachrudin B lantai 5 Kampus Terpadu UMY, Kamis (28/3/19), Duta Besar RI untuk Turki, Dr. Lalu Muhammad Iqbal mengatakan bahwa saat ini kita hidup dalam lingkungan internasional yang sangat anomaly.
“Kita katakan anomaly karena sistem yang lama telah runtuh, sistem yang baru tidak kunjung tiba. Hampir seluruh konsep dan teori didalam hubungan internasional sekarang mengalami uji ulang, uji publik ulang keabsahannya, karena kita semua terekspos didalam dunia yang sangat globalize,” ujar Dubes Indonesia untuk Turki, Dr Iqbal.
Selama 27 tahun sebagai seorang akademisi hubungan internasional dan 23 tahun sebagai praktisi hubungan internasional, Dr Iqbal ingin memberikan prinsip-prinsip didalam hubungan internasional, sebagai pegangan supaya tidak gamang. Paling tidak supaya tidak mengalami kegamangan intelektual dalam menghadapi situasi yang sangat anomali.
Prinsip pertama adalah National Interest, Kepentingan Nasional. Ada satu hal yang tidak akan pernah hilang dari lingkungan internasional yaitu national interest, kepentingan nasional. Selama masih ada nation-state, selama masih ada negara bangsa, maka national interest akan selalu ada.
“Negara yang akan survive melewati anomaly dunia saat ini adalah negara yang paham betul apa kepentingan nasionalnya, dan negara yang tidak mengenal kepentingan nasionalnya, maka inilah negara yang akan tergerus oleh sejarah. Karena kita tahu national interest kita maka kita tahu apa yang kita perjuangkan,” tuturnya lebih lanjut.
Menurut Dr Iqbal, untuk seorang pemimpin yang memahami apa kepentingan nasionalnya, dan apa kepentingan nasional yang akan diperjuangkan, maka seorang pemimpin harus masuk kedalam denyut nadi dan degup jantung kehidupan bangsanya. Karena ini menentukan bagaimana bergaul hidup dengan dunia internasional.
“Ini juga menjelaskan kenapa Amerika nampak plin-plan didalam hubungan internasional. Kadang-kadang dia multilateralis, kadang-kadang dia bilateralis, dan sekarang ini unilateralis, tampak semaunya sendiri. Ini bukan masalah ideologi tetapi ini national interest. Itu semua sah didalam hubungan internasional karena dia memperjuangkan kepentingan nasionalnya,” imbuhnya.
Prinsip kedua, saat ini ada tarik-menarik antara national interest dengan corporate interest. Ini yang dihadapi saat ini. Seorang Kepala Negara membuat keputusan mengenai politik luar negerinya, selain untuk kepentingan negara, juga korporasi mana yang ada dibalik keputusan itu.
“Tarik-menarik diantara kepentingan keduanya akan terus terjadi dan itu tidak bisa dihindari karena merupakan fakta sejarah. Yang harus kita lakukan adalah mencari titik untu menjembatani kedua kepentingan tersebut. Saat ini semakin banyak keputusan-keputusan yang dibuat negara untuk kepentingan korporasi,” jelas Dr Iqbal.
Prinsip ketiga adalah DNA Politik Luar Negeri. Kebijakan Luar Negeri. Muncul pertanyaan DNA Politik Luar Negeri Indonesia itu apa? Rupanya pemimpin negara ini sudah memikirkannya dengan sangat matang.
“DNA Politik Luar Negeri Indonesia tergambar sangat jelas dari hasil kontemplasi Muhammad Hatta, ketika beliau mengatakan mengusung konsep Berlayar Diantara Dua Karang. Itu DNA Indonesia, Itu sangat penting karena akan menentukan Playing Field, dimana sebuah negara bermain. Indonesia dimana playing field-nya? Playing Field Indonesia adalah berlayar diantara dua karang. Jadi bagi Indonesia sangat penting untuk tidak terjadi monopolaritas.
Periode yang paling berat bagi Indonesia didalam politik luar negerinya, diantara tahun 1990 sampai awal 2000-an, dimana Soviet sudah runtuh maka tidak ada lagi yang bisa mengimbangi Amerika Serikat. Satu-satunya kekuatan, satu-satunya yang menentukan kebenaran didalam hubungan internasional pada saat itu adalah Amerika Serikat. Pada periode itu, Indonesia tidak akan bisa bermain.
“Jadi kepentingan Indonesia adalah membangun, menjamin adanya balance of power, ada-nya perimbangan kekuatan dimuka dunia ini didalam hubungan internasional. Indonesia tidak boleh menepi di salah satu Karang. Indonesia harus selalu berlayar diantara dua Karang. Indonesia tidak boleh membiarkan terjadinya monopolaritas. Kepentingan Indonesia adalah mendorong agar di dunia ini selalu ada kekuatan lebih dari satu, disitulah Indonesia bermain,” ungkap Alumnus UMY tersebut.
Prinsip yang ke-empat adalah Margin of Error. Kebijakan luar negeri itu memiliki Margin of Error. Makin besar sebuah negara, Margin of Error-nya makin besar juga, makin leluasa dia membuat kebijakan luar negeri. Amerika yang besar itu melakukan kesalahan di Afghanistan, dia keluar selamat, tidak terjadi apa-apa terhadap Amerika. Berbuat kesalahan di Irak, dia keluar selamat, tidak terjadi apa-apa pada Amerika, Berbuat kesalahan terhadap Lybia, dia keluar, yang susah Lybia.
“Negara besar punya Margin of Error juga besar, sehingga sering serampangan dalam membuat keputusan. Karena dia tahu, kalau terjadi kesalahan yang akan menanggung itu negara lain, bukan negaranya,” papar Dr Iqbal.
Alumni Hubungan Internasional UMY tersebut menyampaikan bahwa sebagai institusi UMY sudah mengalami kemajuan yang sangat besar dibandingkan di masa babat alas-nya. Karenanya UMY harus terus menjaga dan meningkatkan akuntabilitasnya sebagai perguruan tinggi berprestasi. "Dengan posisi UMY saat ini, akan ada banyak ekspektasi yang ditujukan kepada anda dari banyak pihak. Kredibilitas ini merupakan poin penting yang harus dijaga, dan salah satunya adalah melalui pengkhidmatan oleh setiap civitas akademika UMY. Terutama dalam pengahayatan UMY menerapkan core value Unggul dan Islami," ujarnya.
Hal tersebut juga disampaikan oleh Dr. H. Agung Danarto, M.Ag., Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang menyebutkan bahwa UMY harus menjadi pioneer dalam menjadikan dakwah Islam sebagai pembangun bangsa. "Agama harus selalu berinteraksi dengan ilmu pengetahuan dan realitas masyarakat, dan dengan itu Islam akan mampu membawa negara kepada kebaikan. Dalam hal ini, UMY harus dapat menjadi lokomotif yang membawa gerbong masyarakat untuk menuju baldatun thoyyibah," pungkasnya.
Dalam kesempatan itu Rektor UMY Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, MP menyampaikan melalui kredo Millenial and Global, UMY terus berusaha mengedepankan kiprah Dosen, Mahasiswa, dan Tenaga kependidikannya untuk tetap berkarya mendunia.
“UMY yang kini sudah menjadi perguruan tinggi yang diperhitungkan, meraih Akreditasi A dua periode berturut-turut dengan skor yang meningkat dalam kategori Unggul. Mahasiswa aktif sebanyak 20.761 orang, dan 300 diantaranya adalah mahasiswa asing. Setiap tahunnya yang mendaftar sebanya 35-ribu namun hanya 5-ribu-an yang diterima,” ungkap Rektor Gunawan Budiyanto.
Portal Pusat Indeks Ilmu Pengetahuan dan Teknologi SINTA menilai UMY menduduki peringkat ke-4 secara nasional dari PTS yang aktif menghasilkan riset. Dalam hal Manajemen Tata Kelola Institusi, UMY memperoleh Sertifikat QMS ISO 9001.2015 dari auditor internasional TUV Rheinland, sehingga menunjukkan UMY telah memenuhi standar dunia dalam pengelolaan administrasi dan dokumentasi institusi. (Antok)