Gitaris Jogja, Sri Krishna, Luncurkan Album Celeng Dhegleng
Impessa.id, Yogyakarta : Sri Krishna, Gitaris Jogja, meluncurkan album berjudul “Celeng Dhegleng” di Studio Riverside Music and Rehearsal Space di Jalan Pakem-Turi, Dusun Kelireso RT 01 RW 17, Candibinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, pada Kamis, 27 Desember 2018.
Peluncuran album tersebut diwarnai dengan pentas musik Sri Krishna featuring Endah Laras (Vocal) dan didukung oleh Bagus Mazasupa (Piano), Iwank Sambo (Gitar), YaBES (Bass), Endi Barqah (Drum), Denny Dumbo (Perkusi), Damasusu Panggah (Cello), Eko Balung (Biola), Oscar Artunes (Biola), Adi Bimo (Biola), Sagaf F (Viola), Pandulu (Saxophone), Lewi (Trumpet) dan Andi Sulistya (Trombon).
Dalam kaitan dengan hal itu, Suwarno Wisetrotomo, Pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Pascasarjana ISI Yogyakarta, yang juga Penulis kritik reni rupa dan Pendengar segala jenis seni suara, dalam catatan berkait dengan peluncuran album Celeng Dhegleng karya Sri Krishna tersebut menuturkan, komposisi lagu karya Sri Krishna yang liriknya ditulis oleh Sindhunata dan Sri Krishna, menggambarkan situasi yang Chaos.
“Orang-orang ramai, berteriak adu keras, riuh, seperti tengah memburu atau diburu sesuatu. Di tengah kekacauan itu, terdengar suara lengkingan perempuan, mencandra keadaan. Itulah goro-goro, sepotong waktu kalabendu; kerakusan, keangkaramurkaan, keculasan, kebohongan, kedengkian, iri dengki, nyinyir sumpah serapah melampaui batas, sedang dirayakan oleh sebagian besar orang yang kehilangan kiblat atau orientasi kehidupan. Situasi jauh dari tertib,” ungkap Suwarno Wisetrotomo.
Lengkingan penuh taksu pada bagian awal dan tengah lagu itu adalah suara Endah Laras, penyanyi penuh bakat, termasuk ketika berada di atas panggung pertunjukan. Tajuk Celeng Dhegleng bertolak dari lukisan karya Djokopekik, yang dipamerkan tunggal pada Oktober 2013, dikuratori oleh Sindhunata (Romo Sindhu), dengan esai kuratorial “Zaman Edan Kesurupan”.
Lukisan Celeng Dhegleng menjadi percakapan melampaui perkara rupa, karena Djokopekik menggubah situasi sosial-politik pasca runtuhnya Orde Baru. Djokopekik melihat, bahwa Celeng-celeng yang rakus, perusak tatanan kehidupan, masih berkeliaran, meskipun “induk celeng” sudah mati (sebelumnya Djokopekik melukis Berburu Celeng yang monumental). Karena memang, “Celeng Dhegleng belum mati, nafsunya meraba-raba, dalam gelap hidup yang tak pasti-pasti” demikian tulis Romo Sindhu.
Itulah reportase galau hati Sri Krishna yang dijadikan lagu pembuka album Celeng Dhegleng. Dalam lagu itu Sri Krishna meneriakkan dengan ‘merdu’; “Celeng di mana-mana, merajalela, memakan apa saja, yang penting hatinya suka, Lengji Lengbeh, Celeng Siji Celeng Kabeh, manusia seperti Celeng, menebar nafsu angkara, menjarah apa saja, yang penting hatinya suka,” lantunnya.
“Saya meyakini, karya seni berjenis dan bentuk apa pun, sejauh digubah dengan gagasan dan pesan yang kuat, dilengkapi ketrampilan yang mumpuni, akan memiliki daya pukau dan daya ganggu sekaligus. Ya, karya seni itu, akan menggugah dan mengganggu kesadaran penonton/pendengarnya. Sorak sorai pada komposisi lagu itu, bukanlah sorak sorai kegembiraan. Tetapi sorak sorai kekacauan, kebingungan, atau bahkan kemarahan,” ungkap Suwarno.
“Kumpulan lagu Sri Krishna ini, setidaknya bagi saya yang hanya bermodal selera musik sebagai kesenangan, penyantap segala jenis seni suara, dari uyon-uyon, gendhing-gendhing Jawa, keroncong, campur sari, dangdut, Rolling Stone, U2, Pink Floyd, hingga Bethoven, dan Mozart, menyodorkan kekuatan menggugah, mengganggu, sekaligus menghibur. Sebab, realitas sosial-politik sepahit apapun, ketika termediasi, memiliki irisan hiburan,” imbuh Suwarno Wisetrotomo lebih lanjut.
Menurutnya, delapan komposisi dalam album Celeng Dhegleng memang enak didengar dan perlu. Judul-judul pada album Celeng Dhegleng cukup provokatif, misalnya Menolak Lupa (lirik oleh Ong Hary Wahyu dan Sri Krishna). Sri Krishna meratap, menggugat, dan berharap; Ada juga lagu bertajuk seronok, yang liriknya ditulis sendiri. Nomor lainnya adalah Tanah Hati (lirik oleh Anisa Hertami, pesohor film dan penulis puisi), Negeri Tanpa Batas (lirik oleh Ong Hari Wahyu, desainer/ penata artistik, dan Sri Krishna), Sahabat (lirik oleh Sri Krishna), dan Aku (lirik oleh Ong Hari Wahyu dan Sri Krishna). (Pras/Tok)