Pameran Lukisan Pemandangan Alam Sepi Karya GODOD SUTEJO di KINIKO Art Room Yogyakarta, 14-31 Agustus 2024
Pameran Lukisan Pemandangan Alam Sepi Karya GODOD SUTEJO di KINIKO Art Room Yogyakarta, 14-31 Agustus 2024
Impessa.id, Yogyakarta: Pelukis senior GODOD SUTEJO, kelahiran Dusun Tameng Wonogiri, 12 Januari 1953, menggelar karya-karya khas keunikan-nya dalam pameran tunggal bertajuk “MANJING” bertempat di KINIKO Art Room, SaRanG Building II, Kalipakis RT5/11, Tirtonirmolo-Kasihan-Bantul, Yogyakarta, pada 14-31 Agustus 2024.
Ditengah keramaian dan banyaknya tamu yang hadir, baik itu sesama seniman, pengamat seni maupun mahasiswa seni, serta khalayak umum yang memenuhi halaman jelang pembukaan, namun sang pelukis Godod Sutejo berhalangan hadir dikarenakan sakit dan masih opname di Rumah Sakit ditemani isteri dan anak ragil-nya, meski beliau turut menyaksikan acara pembukaan pameran lukisannya lewat live streaming, sehingga kehadirannya di KINIKO Art Room diwakilkan oleh RIWO, putera kedua-nya.
Alumni dan Mantan Pengajar Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia -FSR ISI Yogyakarta SUBROTO Sm dalam sambutan pembukaan pameran, Rabu sore, 14 Agustus 2024, mengungkapkan, “Jika kita mengamati lukisan-lukisan Godod yang menyajikan manusia-manusia berukuran sangat kecil di tengah alam raya yang luas, sepi dan nglangut itu, menjadikan manusia bagaikan debu, kecil dan seolah tak berarti,” ujarnya.
Menurut Subroto, lukisan Godod mempunyai pesan agar manusia sadar, rendah hati dan jangan jumawa, oleh karenanya jika manusia ingin bahagia, mesti bisa menjaga kesatuan hidup yang harmonis, dengan sesama, dengan alam, dan dengan Sang Maha Pencipta langit-bumi-dan-seisinya.
“Pernah Godod bercerita ke saya, disaat dia mengunjungi Pantai Selatan, tepatnya di Pantai Samas, Bantul, dari kejauhan, dirinya memperhatikan kegiatan nelayan dan orang-orang bermain ditepian pantai ada pula yang sedang memancing ikan di lautan menggunakan tongkat pancing yang panjang. Dari tempatnya duduk di pasir yang hangat dirinya menemukan inspirasi, momen ini harus diabadikan di atas kanvas, dan jadilah lukisan-lukisan tersebut yang menjadi ciri khas Godod Sutejo, pelukis pemandangan alam sepi, yang kini dipamerkan disini, di KINIKO Art Room,” tutur Subroto lebih lanjut.
Kurator pameran “MANJING” Yaksa Agus dalam tulisan kuratorialnya menyebutkan bahwa dalam salah satu lukisan terbarunya di tahun 2024, yang berjudul “Mancing Rezeki”, (130x130, cat akrilik di kanvas, 2024), pemandangan pantai dan laut yang luas sejauh mata memandang. Di tepian laut ada sekelompok lelaki yang mancing dari tepi pantai.
“Karya ini mengingatkan kisahnya, bagaimana Godod sewaktu mahasiswa dipusingkan harus mencari gaya yang khas, dan berbeda. Sebenarnya suatu hal yang wajar apabila seorang mahasiswa karyanya ter-influence oleh pelukis pendahulunya atau yang diidolakannya. Tetapi Pendidikan ala ASRI Yogyakarta -Akademi Seni Rupa Indonesia, mengharuskan setiap mahasiswa harus punya gaya Bahasa rupa yang khas. Di setiap presentasi di kelasnya, sang dosen, Fadjar Sidik, dengan kritiknya yang keras membuat Godod nyaris patah arang,” tulisnya.
“Di tengah kegalauannya, Godod pergi ke Pantai Samas, duduk menyendiri memandangi laut. Godod menikmati orang-orang yang dilihat dari kejauhan tampak riang gembira menyambut kapal nelayan yang akan mendarat. Suara keriuhan terdengarsayup-sayup bercampur debur ombak Laut Selatan. Rupanya melihat aktifitas manusia dari kejauhan, inilah yang menjadi inspirasi, dan Godod pun melukiskannya dengan begitu khas-seperti yang kita kenal hari ini,” imbuh Yaksa lebih lanjut.
Dikatakan oleh Yaksa, pameran tunggalnya yang didukung oleh Yudi Pigura ini, bukan lagi sebagai refleksi kehidupan yang telah dan sedang dijalani, melalui pembelajaran mulai dari ranah jiwa dan raga. Ranah jiwa, Godod melatih rasa kramadangsa-nya dengan melakukan perjalanan spiritual; melalui sosok empu maupun para pakar ilmu mengasah rasa menuju rasa sejati. Kontemplasi ritual dilakukan untuk menemukan arti hidup dan makna hidup dalam kehidupannya. Laku spiritual dengan pengembaraan batin ini menemukan “ati” dalam berkaryanya.
Seni sejatinya adalah refeleksi kehidupan dan dapat diunduh melalui pembacaan diri. Karya-karya Godod lebih merujuk kepada ‘raos kasampurnan’ yang tersembunyi dalam “ati”-nya. Di situ, seni sebagai piwulang lan piweling untuk sesama. Entah kenapa, Godod begitu kuat menghadirkan ekspresi jiwanya ketika melukiskan pemandangan tepi segara/ laut. Tak sedikit karya arak-arakan Upacara Labuh di Pantai Parangkusumo, sedekah laut, dan lain sebagainya. Tetapi ketika melukiskan Gunung Merapi yang menjulang tinggi, dan ketika dicermati, di kaki gunung, ada arak-arakan Sedekah Gunung, atau upacara Labuhan di Gunung Merapi.
Tradisi arak-arakan dalam lukisan Godod, dalam pameran tunggalnya kali ini secara tersembunyi merupakan tes strategi transformasi makna bagi generasi saat ini: apakah generasi hari ini, Gen Z--khususnya, masih memiliki keterikatan dengan akar tradisi? Apakah kemudian semua pembahasan tradisi harus menggunakan bahasa akademis, intelek atau riset yang kualitatif dan pendekatan antropologis, dan lain sebagainya, untuk membuka pemahaman pada generasi Gen Z.
Lukisan-lukisan Godod banyak memuat nilai-nilai sejarah, fungsi dan tujuannya budaya tadisi yang masih bisa ditemui hingga hari ini. Lukisan berjudul “Merapi-Merbabu”, (200x200cm, cat akrilik di kanvas, 2015), yang menjulang kelangit, menyimpan tradisi masyarakat yang tetap terjaga hingga kini. Makna arak-arakan dalam budaya dan tradisi Jawa, yang sejak dahulu hingga sekarang tidak berubah, bahkan di tengah arus globalisasi, tradisi arak-arakan masih terus berlangsung dan Lestari, sehingga makna serta tujuan arak-arakan dalam karya Godod selanjutnya, layak untuk kita telisik bersama. (Yaksa Agus/Antok Wesman-Impessa.id)