Upacara Ijab, Panggih, Balangan Gantal, Ngranupada, Mecah Tigan, berlangsung Rabu, 10 Januari 2024
Impessa.id, Yogyakarta: Upacara Ijab atau Akad Nikah kedua calon pengantim Dhaup Ageng Puro Pakualaman 2024 berlangsung Rabu Legi, 10 Januari 2024, Jam 8.30 WIB, bertempat di Kagungan Dalem Masjid Agung.
Mas Ngabehi Citropanambang -Urusan Pranatan Lampah menjelaskan, pelaksanaan prosesi ijab dimana calon pengantin Perempuan berada di PeÂngulon, sedangkan calon pengantin laki-laki dari Kagungan Dalem GeÂdhong IjeÂm, berjalan didampingi sesepuh dan seÂdherek daleÂm menuju KD Masjid Agung.
Pengantin laki-laki dan pengantin perempuan mengenakan busana batik motif Indra Widagda ‘Indra yang pandai’. Motif tersebut merupakan motif pertama yang dibuat berdasarkan iluminasi Bathara Indra dalam naskah SeÂstradisuhul dan SeÂstra AgeÂng Adidarma.
Adapun yang bertugas sebagai wali nikah adalah dr. Tri Prabowo, M.Kes., Sp.PD., FINASIM dan sebagai saksi adalah K.P.H Jurumartani dan Prof. Dr. drg. Sudibyo, Sp.Perio(K).
Upacara Panggih kedua mempelai Dhaup Ageng Puro Pakualaman 2024, berlangsung pada Rabu Legi, 10 Januari 2024, Jam 10.30 WIB di Tratag KD Bangsal Sewatama
Nyi Mas Tumenggung Sestrorukmi dan Kanjeng Mas Tumenggung Widyo Hadiprojo menuturkan bahwa yang dimaksud dengan panggih ‘temu’ adalah prosesi pertemuan pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan setelah upacara ijab.
Prosesi upacara panggih meliputi, pasrah sanggan kemudian pengantin laki-laki dan perempuan menuju Tratag KD Bangsal Sewatama disertai tampilan Durbala Singkir, diikuti dua pasang abdi dalem pembawa kÄÂmbar mayang. Selanjutnya Kembar Mayang dibawa keluar area Tratag KD Bangsal Sewatama.
Prosesi Balangan Gantal, Ngranupada, Mecah Tigan, Sungkeman
Adapun keterangan ringkasnya sebagai berikut.
1. Pasrah Sanggan. Sanggan di sini disebut pula sanggan pameÂthuk, dimaksudkan bahwa pengantin laki-laki sudah siap mengikuti upacara panggih, sekaligus memberitahu agar pengantin perempuan dihadirkan dalam acara panggih.
2. KeÂmbar Mayang. Keberadaan keÂmbar mayang di sini menandai bahwa pengantin laki-laki masih jejaka dan pengantin Perempuan masih perawan.
3. Balangan Gantal. Gantal ‘lintingan daun sirih diikat dengan benang lawe berwarna putih’ sejumlah tujuh (empat dilempar oleh pengantin laki-laki, tiga dilempar oleh pengantin perempuan) dengan kelengkapan jambe, gambir, tembakau dan injet dalam satu wadah. Makna filosofis gantal beserta kelengkapannya sebagai berikut.
a. Jambe: buah lebat hasil dari pohon Jambe yang menjulang tinggi lurus ke atas melambangkan orang yang berbudi luhur, berderajat tinggi, berkat kesungguhan kerja dan doa sehingga membuahkan hasil yang melimpah.
b. InjÄÂt: adalah bubuk putih merupakan hasil endapan dari proses rendaman batu yang memiliki banyak khasiat untuk kesehatan dan juga bermanfaat untuk membantu pengolahan makanan. Injet melambangkan buah pikir yang bersih yang diperoleh melalui kontemplasi. Buah pikir yang jernih tersebut bermanfaat untuk menyelesaikan segala urusan baik itu di lingkungan keluarga, kerabat, maupun masyarakat.
c. Gambir: Menilik manfaat buah gambir yakni dapat menguatkan gigi serta mengingat rasa gambir yang semula pahit dan sepat kemudian menjadi agak manis berkat kunyahan, maka buah gambir di sini dimaknai sebagai harapan agar ketika pengantin menghadapi dinamika kehidupan yang terus berputar mereka tetap tahan menderita pahit yang dipercaya akan membuahkan sesuatu yang manis di kemudian hari.
d. Tembakau: merupakan tanaman pegunungan yang mampu bertahan dalam kondisi tanah yang ekstrim. Tanaman ini semakin hijau, dan membaik mutunya, serta mampu bertahan hidup di musim kemarau. Tembakau digunakan sebagai pelengkap dalam berbagai sajen. Dalam prosesi balangan gantal tembakau dimaknai sebagai harapan agar suami istri senantiasa waspada dan mawas diri sehingga akan tetap dapat bertahan hidup meski dalam “suasana panas” akibat serangan dari gangguan roh jahat maupun kelabilan emosi.
e. Daun sirih: Sesuai dengan manfaat daun sirih sebagai obat herbal dan antioksidan, keberadaan daun sirih yang temu ros ‘bertemu ruasnya’ diikat dengan lawe berwarna putih yang kemudian dilempar ke pasangannya menyimbolkan dua pribadi dengan masing-masing karakternya akan mampu menyatu. Hal ini disebabkan masing-masing pribadi telah berbekal “jambe, injÄÂt, gambir, dan tembakau” yang melambangkan budi luhur, kesungguhan kerja dan doa, berpikir jernih, mau berproses, serta waspada dan mawas diri.
f. Lawe putih: Melambangkan suatu ikatan suci agar pernikahan tetap langgeng, selamat lahir dan batin, sehingga tercapai sejahtera dan bahagia hidupnya.
4. Upacara Ngranupada. Artinya mencuci kaki. Di sini kaki pengantin laki-laki dibasuh oleh pengantin perempuan. Hal ini menunjukkan bakti seorang istri kepada suami. Selain itu, air bunga setaman yang dipakai untuk mengguyur kaki dimaknai sebagai penyingkir godaan.
5. Upacara MÄÂcah Tigan. Menunjukkan adanya warna putih dan merah, yang melambangkan bercampurnya ‘wiji kakung’ dan ‘wiji putri’ yang kelak melahirkan anak dan cucu.
Busana yang dikenakan pada saat panggih bagi pengantin adalah dodot atau kampuh batik motif Indra Widagda Wariga Adi. Dalam kain batik motif Indra Widagda Wariga Adi termuat motif Indra Widagda dipadukan dengan motif SÄÂmen Kidang yang memuat harapan agar ajaran yang telah diperoleh dari orang tua dan para sesepuh dapat dijadikan pegangan hidup, sehingga mereka mampu berkelana dengan tangkas di belantara kehidupan. (Tim Humas Dhaup Ageng Puro PA 2024/Humas Pemda DIY/Antok Wesman-Impessa.id)