Feature

Sewindu OMAH PERDEN Yogyakarta, Luncurkan Pusat Kajian dan Pendidikan Anak-Keluarga Berbasis Budaya Jawa

Sewindu OMAH PERDEN Yogyakarta, Luncurkan Pusat Kajian dan Pendidikan Anak-Keluarga Berbasis Budaya Jawa

Sewindu OMAH PERDEN Yogyakarta, Luncurkan Pusat Kajian dan Pendidikan Anak-Keluarga Berbasis Budaya Jawa

Impessa.id, Yogyakarta, Indonesia, September 2025: OMAH PERDEN yang berlokasi di jalan Juadi No.1 Kotabaru, Gondokusuman, Kota Yogyakarta, dalam merayakan sewindu eksistensinya pada Sabtu, 20 September 2025, meluncurkan Pusat Kajian dan Pendidikan Anak-Keluarga Berbasis Budaya Jawa, diwarnai dengan Rembag Nuju Prana -Talkshow, berrtajuk “Ngudi Rasa-Ngulir Budi, Amerdi Siwi” serta Panggung Seni lan Dolanan Sesarengan.

Acara Rembug Nuju Prana menghadirkan narasumber Dr Indria L Gamayanti, M.Si, Psikolog Klinis; Paksi Raras Alit M.Sn, dan Anggiastri H Utami M.Psi, Psikolog Kilins.Sedangkan Panggung Seni lan Dolanan Sesarengan melibatkan murid TK Merdi Siwi dan Sanggar Kinanti Sekar.

Dalam bincang-bincang tersebut terungkap bahwa Omah Perden yang berarti Rumah Stimulasi, telah berdiri selama delapan tahun atau sewindu, dan konsisten menyelenggarakan pendidikan dan pengasuhan bagi anak yang berbasis pada budaya Jawa. Konsep pendidikan dan pengasuhan yang dikembangkan adalah dengan mengangkat kembali budaya Jawa, namun tidak meninggalkan konsep serta teori pendidikan dan psikologi yang telah teruji secara ilmiah, memadukan antara tradisi dan profesionalisme.

Ajaran para leluhur pendahulu kita, apabila dipelajari, dipahami, dan direnungkan mempunyai makna yang sangat dalam yang rasanya tetap bisa berlaku untuk mengahadapi tantangan jaman ini. Budaya Jawa yang sangat kaya akan makna; dapat memberikan panduan atau arahan dalam mengarungi kehidupan termasuk dalam pendidikan anak.

Pusat Kajian dan Pendidikan Anak-Keluarga Berbasis Budaya Jawa beranjak dari sebuah premis bahwa kesejahteraan psikologis (psychological well-being), ketahanan keluarga (family resilience) dan pendidikan karakter (character building) tidak dapat dipisahkan dari konteks sosio-kulturalnya. Dinamika keluarga dan pengasuhan anak yang merupakan inti dari pembentukan karakter individu dan sosial, secara fundamental dibentuk oleh nilai, norma, dan praktik budaya.

Secara teoritis, inisiatif ini berakar pada psikologi indigenous yang menolak dominasi teori-teori psikologi barat (eurosentris) dan menekankan pentingnya membangun kerangka konseptual yang relevan dengan konteks budaya lokal. Pendekatan ini relevan untuk mengkaji pengasuhan anak dalam konteks budaya Jawa, di mana konsep-konsep seperti "asah-asih-asuh" (melatih, menyayangi, dan mengasuh), "andhap asor" (rendah hati), dan "mbelani rasane bocah" (memperhatikan dan memahami emosi yang dirasakan anak) tidak hanya menjadi nilai filosofis, tetapi juga panduan praktis dalam interaksi sehari-hari.

Perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh berbagai lingkungan di sekitarnya, mulai dari yang paling dekat (keluarga dan sekolah) sampai yang lebih luas (budaya dan nilainilai masyarakat). Dalam konteks ini, budaya Jawa berperan sebagai lingkungan yang sangat penting dalam membentuk cara mengasuh, berkomunikasi, dan menyelesaikan masalah di dalam keluarga. Oleh karena itu, Pusat Kajian dan Pendidikan Anak-Keluarga Berbasis Budaya Jawa mencoba untuk menarik benang merah dari teori dasar Psikologi,

Pendidikan, dan Budaya ke dalam proses pengasuhan anak dan interaksi dalam keluarga. Tujuannya bukan sekadar melestarikan tradisi, tapi juga menghidupkan kembali nilai-nilai budaya Jawa yang masih relevan untuk menghadapi tantangan zaman, seperti pengaruh teknologi, perubahan struktur keluarga, dan masalah kesehatan mental pada anak.

Ajaran para pendahulu kita adalah ngecakake tatanan lan pranatan rasa lan raga sampuna kanggo patokan urip seka alam mawujud dumugi alam kasunyatan; yang artinya menerpakan tata laksana rasa (batiniah) dan lahiriah sebagai pegangan hidup, mulai dari dalam kandungan sampai dengan menapaki kehidupan di usia dewasa.

Kemudian dilanjutkan dengan “gandeng cenenge karo ngrumangsani cinipto gesang, amerga manungsa iku dudu opo-opo yen ora diciptaake (dening Kang Kuwasa Cipta)”; bahwa seorang anak sejak kevcil perlu mulai dijarkan untuk “ngrumangsani” atau menyadai bahwa dirinya adalah ciptaanNYA, dan bahwa manusia itu bukan apa-apa kalau tidak diciptakanNYA.

Bocah kuwi gambaran uripe wong tuwane. Apik elek bener salah, kang weruh wong liyo, wong liyo kang uwis ngecakke tatanan lan pranatan urip. Anak itu sebenarnya adalah gambaran orang tuanya. Baik atau jelek, benar araupun salah yang melihat adalah orang lain; terutama orang yang telah paham dan benar benar menjalani tatanan hidup yang sebenarnya.

Oleh karena itu siapa saja yang belajar di OMAH PERDEN, baik itu anak dan orang tuanya diharapkan juga belajar dan berproses bersama dengan kami tentang kehidupan dan bagaimana menapaki kehidupan ini sela njutnya. tatanan dan pranatan urip bersama sama.

Filosofi yang secara umum dipakai untuk beksan gagrak Ngayogyakarto nyawiji, greget, sengguh lan ora mingkuh ternyata bila dilihat secara lebih luas; juga relevan diangkat sebagai filosofi pembelajaran dan pengasuhan pada anak. Demikian pula hasta brata yang selama ini lebih dikenal sebagai ajaran bagi para pemimpin; bisa dijadikan acuan konsep pendidikan belajar dari kebijaksanaan semesta. Tradisi dan filosofi jawa yang selalu mengingat pada daur hidup ternyata relevan dengan konsep pendidikan dan kesehatan mental di sepanjang kehidupan yang saat ini diacu baik secara nasional maupun internasional.

Acara Pengetan Sewindu Omah Perden, menjadi momentum strategis untuk memperkenalkan konsep, pemikiran dan rencana kegiatan. Melalui kolaborasi dengan berbagai pihak, kami berupaya menjalin jejaring yang kondusif bagi riset, edukasi, praktik pengasuhan dan advokasi yang berfokus pada penguatan keluarga berbasis budaya. (Feature of Impessa.id by Vinia Prima-Antok Wesman)